Tuesday, October 17, 2017

Jalan-jalan ke Paris, Prancis.



Pagi-pagi sekali kami sudah bangun, lalu bersiap-siap untuk berangkat ke Paris. Tiket kami jam 09.40 pagi dengan kereta TGV Lyria Geneve-Paris. Kami keluar dari apartement Yetty jam 08.55. Namun saat kami menunggu tram untuk ke stasiun kereta, koper Syifa jebol reslitingnya. Untuk beberapa saat saya bingung apa yang harus dilakukan, namun karena waktu sudah mepet, nggak ada waktu lagi untuk beli-beli koper. Karena tram sudah datang, kami putuskan untuk lanjut ke stasiun. Sesampai di stasiun Yetty membantu saya ke money changer untuk menukar uang Swiss Franc kembali ke Euro, karena di Paris yang berlaku mata uang Euro. Sambil nunggu Yetty di Money changer saya coba untuk membuka resleting koper yang jebol, tapi sulit. Akhirnya saya putuskan untuk membawa koper jebol itu dengan hati-hati, dan membeli koper baru di Paris saja karena waktu yang sudah sangat mepet. 

Kami lihat di monitor bahwa kereta TGV Lyria yang ke Paris ada di peron 8, maka dengan setengah berlari kami menuju peron 8. Dipintu masuk ada petugas immigrasi yang mencegat dan meminta passport kami. Setelah menunjukkan passport dan melewatkan koper kami di X-ray, kami pun bergegas menuju peron. Di tiket yang saya pesan secara online dari Jakarta sudah ditentukan tempat duduk kami di kelas 2, gerbong 16 dan kursi nomor 64 dan 65. Karena waktu yang sudah sangat mepet kami naik saja ke gerbong terdekat, yaitu gerbong 15, menyimpan koper kami yang besar-besar dan satu jebol di tempat penyimpanan koper gerbong 15. Selanjutnya kami bisa berjalan dengan tenang di dalam gerbong mencari gerbong nomor 16 dan nomor tempat duduk kami. Kereta tidak penuh, hanya kira-kira 50% yang terisi. Tidak lama setelah kami menemukan tempat duduk, kereta pun bergerak menuju Paris. Tiga setengah jam tidak terasa, hanya sekitar jam 12 siang perut kami yang mulai terasa lapar, kami makan roti yang kami bawa dari rumah Yetty. Sebelum mencapai Paris, kereta berhenti di beberapa stasiun. 

Kereta sampai di Paris, di stasiun Gare Lyon tepat jam 13.10. Kami terpaksa keluar yang terakhir dari gerbong karena harus melawan arus penumpang lain yang keluar dari gerbong 16 ini, karena barang-barang kami ada di gerbong 15. Syifa keluar gerbong lebih dahulu dengan membawa koper ungu titipan Yetty, namun saya kaget, ternyata ada 2 laki-laki dari Timur tengah yang membantu Syifa mengeluarkan koper dari gerbong dan meletakkannya di trolley. Kami berdua cukup kaget dan membiarkan kedua laki-laki itu membantu kami. Salah seorang laki-laki yang lebih muda berbicara pada saya dalam bahasa Inggris bahwa saya tidak perlu khawatir, dia hanya membantu saya. Dia bertanya saya akan ke mana, dan saya jawab bahwa kami akan ke Tim Hotel dekat Eiffel. Saya pikir biarlah dia membantu dari pada kami kesulitan menggeret-geret 3 buah koper. Apalagi koper yang jebol tampak aman di letakkan di trolley. 

Laki-laki yang agak tua yang sepertinya tidak mampu berbahasa Inggris mulai mendorong trolley yang berisi koper-koper kami, lalu kami bergegas mengikuti. Saya sampaikan ke pria yang lebih muda yang bisa berbahasa Inggris bahwa saya perlu taxi untuk ke hotel. Dia mengiyakan dan menjelaskan beberapa hal mengenai stasiun Gare Lyon ini, seperti tempat yang bisa saya gunakan untuk menyimpan koper. Saya katakan padanya bahwa saya sudah pernah ke sini, untuk memberi kesan padanya bahwa saja tidak bego-bego amat dan tidak bisa dia tipu. Lalu dia bertanya untuk ke berapa kalinya saya ke Paris, saya jawab yang ke dua kalinya. 

Akhirnya kami sampai di pangkalan taxi, kami harus mengantri karena ada beberapa pasangan yang sudah lebih dahulu mengantri. Saya bertanya pada laki-laki itu berapa saya harus membayar mereka. Dia menjawab terserah saya, yang penting saya happy. Setelah antria semakin pendek, saya mengeluarkan uang 10 Euro dari tas saya. Laki-laki itu berkata, “It’s too small, you should pay 30 euros, because there are 3 suitcases, 10 euros for 1”.

Saya bilang, “Thirty is too much, I’ll give you 20, I don’t bring much money”. Akhirnya laki-laki itu setuju dengan 20 euro. Tapi uang itu masih saya pegang di tangan sampai taxi datang dan mereka membantu kami mengangkat barang-barang kami ke bagasi taxi. Setelah semua beres dan saya siap masuk ke taxi, uang 20 euro tersebut saya serahkan ke laki-laki tersebut. Saya ucapkan terima kasih. Saya sangat bersyukur dan merasa sangat terbantu, walaupun saya tidak tahu apakah membayar cukup atau terlalu mahal untuk jasa mereka. 

Setelah duduk di taxi, saya tunjukkan ke supir taxi alamat hotel saya yang tercantum di kertas reservasi yang saya pesan secara on line dan saya print.  Supir taxi rupanya tahu area tersebut, karena memang lokasi hotel kami adalah area turis, yang dekat dengan menara Eiffel. 

Tidak sampai 30 menit kami tiba di taxi dan argonya hanya 17,70 Euro. Saya serahkan uang 20 Euro, supir taxinya tepat mengembalikan 2 Euro 30 sen. Dia membantu kami mengeluarkan barang-barang keluar dari bagasi. Setelah mengucapkan “Merci,” kami pun masuk ke lobby Timhotel Tour Eiffel ini. Lobby hotelnya kecil, di sebelah kiri ada meja resepsionis, di sebelah kana nada satu set sofa yang kecil dan seperangkat cangkir, air panas, teh, kopi, gula sachet dan satu nampan kecil croissant. 

“Bonjour,” resepsionis hotel memberi salam pada kami. Lalu saya balas dan saya tunjukkan print out pemesanan hotel saya dan saya serahkan passport. Kebetulan waktu baru menunjukkan jam 13.45, sedangkan jam check in adalah jam 14.00, tapi resepsionis laki-laki tersebut mengatakan bahwa kamar kami akan siap dalam 5 menit. Dia menjelaskan bahwa kamar kami nomor 12 di lantai 2. Di kamar disediakan, minuman dan teh serta kopi. Dia menjelaskan juga kode untuk naik lift. Lalu saya minta password untuk wifi, hal yang sangat penting karena saya ingin segera online. 

Saya bertanya di mana saya dapat berbelanja koper karena salah satu koper kami jebol. Dia menjelaskan bahwa tempat belanja yang bagus adalah Gallery Lafayette, tapi terlalu jauh. Lalu dia mengambil peta jaringa hotel tersebut dan menunjukkan ke saya arah dari hotel ke Commerce street tempat yang lebih dekat untuk berbelanja. 

Tidak lama kemudian kami naik ke hotel melalui lift yang sangat sempit, hanya muat saya dan dua koper saya, dan ada satu staff hotel yang ikut naik dan membantu saya menekan tombol lift dan menunjukkan kamar kami. Saya masuk ke kamar yang tidak begitu luas, sekitar 3,5 X 3, namun cukup nyaman dan bersih. Saya cek kamar mandinya, sangat nyaman, bersih dan modern. Saya teringat Syifa masih di bawah, segera saya menuju lift menunggu Syifa. Akhirnya Syifa naik dengan satu koper kami. Kami beristirahat sambil mengecek-ngecek pesan di HP. Namun saat jam 3 perut kami mulai keroncongan. Kami putuskan untuk keluar makan dan diteruskan dengan naik city tour bus, tapi tidak turun. Kami kami hanya mengandalkan wifi untuk mencari arah, maka di hotel kami screen capture arah jalan ke Menara Eiffel, dengan berjalan kaki. Kami akan makan di restoran on the way ke Eiffel.  Setelah sampai di jalan saya ingatkan Syifa untuk mengingat-ingat tanda-tanda tertentu dijalan menuju hotel, agar kami tidak kesulitan bila pulang nanti. 

Disepanjang jalan menuju Eiffel kami banyak menemukan restoran, saya amati banyak sekali restoran pasta dan pizza. Kami putuskan untuk makan pasta di sebuah restoran Italia. Kami pesan salad, dan pasta. Waiternya bertanya apakah kami muslimah, kami jawab dengan iya. Lalu dia masuk dan tak lama kemudian keluar membawa pesanan kami dan mengatakan bahwa makanan yang disajikan halal. Setelah makan dan membayar, kami bertanya ke waiter arah menuju Eiffel. Dia berkata, lurus saja sambil menunjuk ke satu arah. Selama berjalan kami kami melihat satu keluarga muslim jadi gelandangan, duduk di trotoar, berselimut dan meminta-minta. 

Tak lama berjalan kaki kami mulai melihat ujung menara Eiffel. Syifa berkata, “Kayaknya kecil deh menaranya.”. Tapi semakin kami berjalan mendekat menara itu semakin terlihat raksasa. Akhirnya Syifa berubah pikiran, “Ternyata menaranya besar, Ma.” Semakin kami mendekat, saya melihat banyak pedagang asongan berkulit hitam yang berjualan souvenir oleh-oleh miniature menara Eiffel, mereka membawa kantong dari kain yang keempat ujungnya diberi tali dari bahan kain juga. Kantong itu yang setiap saat bisa ditebarkan di tanah sebagai tikar alas dagangannya dan dapat dalam satu detik dibungkus menjadi sebuah kantong apabila ada polisi.  Tapi karena kami baru sampai, kami belum tertarik membeli oleh-oleh. 

Kami mengamati suasana sekitar, lalu kami mencari tempat berhentinya city tour bus. Tak lama kemudian kami melihat city tour bus lewat dengan tulisan Big Bus, persis seperti brosur yang Yetty berikan pada kami. Kami bergegas menuju tempat pemberhentian bis tersebut. Kami naik dan membeli tiket pada supirnya. Saya berkata pada supirnya bahwa saya mau tiket untuk 2 hari, hari ini dan besok. Supirnya bertanya apakah kami ingin tiketnya termasuk tiket naik boat dan saya jawab tidak, lalu saya serahkan uang 100 euro, dia mengembalikan 32 euro. Di dalam brosur disebutkan bahwa tiket seharga 39 euro berlaku untuk 2 hari dan dapat digunakan juga untuk naik boat. Rupanya kami juga bisa membeli tiket yang tidak termasuk tiket naik boat seharga 34 euro. 

Karena masih panas, saya memilih duduk di dalam bis, sedangkan Syifa langsung mencari tempat duduk ke atas bus yang tidak ada atapnya. Saya senang sekali karena karena di Big Bus ini ada wifi, langsung saya online memberi kabar pada suami, kirim location dan foto-foto. Karena kami naik dari depan menara Eiffel, bis melanjutkan rutenya melalui Parc du Mars, terus melewati ecole Militaire, terus ke Invades, melewati jalan antara Petit Palais dan Grand Palais, melewati Place de concorde, terus memutari gedung Opera, lalu masuk du Louvre, keluar lagi melewati pinggiran sungai Seine, lalu menyebrang melewati Notre Dame, lalu kembali kea rah Eiffel di pinggiran sungai Seine melewati Musee d’Orsay, kembali menyeberangi sungai Seine dan memutari Place de la Concorde, taman Palais de Elysee, terus melewati pertokoan di jalan Champ de Elysee, lalu memutari Arc de Triomphe, kembali melewati pertokoan di jalan Champ de Elysee, kembali melewati jalan antara Petit Palais dan Grand Palais, melewati pinggiran sungai Seine lagi, melewati Plais de Tokyo, Musse de Homme, Trocadero, kembali menyeberangi sungai Seine dan berakhir kembali di depan Eiffel. Satu kali putaran tersebut kami menghabiskan waktu 2 jam 20 menit. 



Kami putuskan untuk turun, dan berjalan kembali ke hotel. Di jalan pulang kami melewati toko buah yang dagangannya berupa buah-buahan khas Eropa, ada buah plum, peach, ceri, apel, pir, ada juga pisang, dan lain-lain. Saya mampir untuk membeli 1 pak buah ceri. Pedagangnya tidak memberi kami plastic, namun dia memasukkan buah yang saya beli ke dalam kantong kertas. Ternyata warga Prancis juga sudah mengurangi penggunaan plastik.  Sebelum beristirahat, kami mampir ke restoran pasta dan pizza di dekat hotel, memesan satu Loyang pizza untuk makan malam di hotel. 

Keesokan harinya kami berencana pergi membeli koper Syifa yang jebol. Kami keluar dari hotel sudah hampir jam 11 siang. Kami berjalan kaki sepanjang jalan Rue Juge, terus ke Rue Tiphaine, sampai mentok dan belok kanan ke Rue Commerce. Di sepanjang Rue Commerse berderet toko-toko. Kami mengamati semua toko untuk mencari toko yang menjual koper. Hampir semua toko sedang “soldes”, bahasa Prancis dari sale. Setelah berjalan beberapa blok, kami menemukan toko tas yang juga menjual koper. Kami masuk dan menemukan banyak pilihan koper. Kami pilih satu koper medium size, yg ukurannya lebih besar dari ukuran koper Syifa yang jebol yang berukuran cabin size.  
Lalu kami kembali ke hotel menyimpan koper tersebut, sholat Dhuhur dan Ashar, lalu kembali keluar untuk makan di restoran Thailand, Ayuthaya yang kami lewati waktu membeli koper tadi. Saya memesan seafood  green curry dan Syifa tom yam, masing-masing dengan nasi. Senang juga bisa makan nasi, karena tadinya kami sudah bersiap tidak bertemu nasi selama dua hari di Paris.
Setelah makan siang kami berjalan kaki menuju stasiun Metro terdekat, karena Syifa ingin mencoba naik Metro (kereta bawah tanah) di Paris. Kami hanya berjalan sekitar 200 meter karena stasiun Metro Granelle. Kami mempelajari petunjuk peta dan memutuskan arah Metro yang kami ambil dan turun di stasiun apa. Lalu kami ke mesin pembelian tiket dan membeli tiket. Pada saat kami membeli tiket ada seorang anak laki-laki berusia 10 atau 11 tahun yang ikut campur, ingin mengajari kami. Anak itu bertanya ke Syifa, “How old are you?” Saya jawab “She is seventeen.”

 Setelah tiket kami keluar dari mesin, kami berjalan menuju pintu masuk. Saat saya sudah di dalam saya lihat Syifa dihambat masuk oleh anak kecil tadi. Dia sepertinya ingin masuk ke stasiun tanpa tiket dengan mendompleng pada Syifa. Akhirnya Syifa bisa masuk dengan menyelip dan anak itu tertinggal di luar. Syifa kelihatan “shock” diganggu anak itu.

Lalu kami berjalan ke bawah menuju peron. Kami merasa bahwa kereta bawah tanah di Prancis tidak begitu nyaman dan agak seram. Setelah kereta datang, kami segera naik dan memutuskan untuk langsung turun di stasiun pemberhentian pertama, Ecole Militaire. Kami keluar dari stasiun dan berjalan menuju taman Champ du Mars, taman dengan rerumputan di belakang menara Eiffel. Kami langsung foto-foto dengan latar belakang menara Eiffel dan rerumputan hijau. Kemudian kami mencari tempat pemberhentian bis, karena ingin berkeliling dan turun di tiap bus stop. Saya lihat ada bis city tour, saya langsung naik dan menunjukkan tiket yang sudah saya beli kemaren, karena kemaren saya sudah membeli tiket untuk 2 hari. Namun supir bisnya berkata,”It’s different company.” Lalu kami turun dari bis, saya baru sadar bahwa bis yang kami naiki barusan namanya Sight seeing, sedangkan bis yang kami naiki kemaren tulisannya Big Bus. Tak lama menunggu, Big Bus pun datang, dan kami bergegas naik. 


Perhentian pertama yang menarik bagi kami untuk turun adalah di gedung Opera. Kami berjalan mengelilinginya dan mengambil foto sepuasnya. Lalu kami kembali berjalan menuju ke perhentian bis, lalu naik dan berhenti di bus stop yang ke 4, yaitu Big us info center. Di bus stop ini tempat pertukaran bila ingin berpindah ke jalur biru, yaitu jalur yang melewati Moulin Rouge, Sacre-ceour, Gare du Nord, dst. Rute perjalanan dengan jalur biru menghabiskan waktu sekitar 1 jam 10 menit. Namun di jalur biru ini kami tidak turun. Syifa cukup shock, karena di sepanjang jalur biru ini banyak berjejer toko-toko yang menjual perlengkapan dewasa. Setelah sampai di bus stop awal kami naik jalur biru tadi, kami pun turun dan berjalan kaki menuju museum De Louvre. 

Kami sangat terpesona dengan arsitektur bangunannya. Kami tidak berniat masuk, karena waktu kami yang singkat. Kami hanya berfoto sepuasnya dengan pyramid dan dan bangunan klasiknya. Lalu kami berjalan kaki keluar dari bangunan du Louvre, menyusuri sungai Seine, menuju perhentian bus no 5, untuk kembali naik Big Bus menuju Notre Dame. Namun jalanan sangat macet karena sudah jam 5 sore dan sepertinya tidak ada Big is yang tampak, kami putuskan untuk terus berjalan kaki saja menuju Notre Dame. Kami berjalan cukup jauh, namun menyenangkan karena melewati sepanjang sungai Seine yang indah yang dilewati oleh boat-boat yang membawa turis, pemandangan di kiri-kanan kami adalah gedung-gedung dengan arsitektur klasik.  


Gereja Notre Dame yang terletak di sebuah pulau kecil di tengah sungai Seine ini, sangat ramai oleh pengunjung yang berfoto. Di halamannya banyak burung merpati yang bermain bersama pengunjung. Kami pun memanfaatkan waktu untuk segera berfoto-foto ria. Kami berjalan ke arah depan gereja itu, yang menghadap ke sungai Seine, lalu kami melihat sign ‘toilet’, kami langsung ikuti arahnya karena sudah dari tadi menahan ingin buang air kecil. Toiletnya ada di bawah tanah, harus membayar 1 euro dan tempatnya kurang nyaman dan kurang bersih. 

Lalu kami meneruskan berjalan kaki menyeberangi sungai Seine, dan memutuskan untuk menunggu Big Bus lagi di perhentian dekat Notre Dame dan meneruskan perjalanan kami untuk selanjutnya berhenti di Arc de Triomphe. Kota Paris macet sekali di sore hari hari. Akhirnya kami sampai di Arc de Triomphe, perhentian Big Bus ada di ujung jalan Champ de Elysees yang ramai. Di jalan Champ de Elysees ini berderet toko-toko barang-barang merek terkenal dan mendunia. 

Kami berusaha untuk berfoto dengan latar belakang Arc de Triomphe, tapi tempat itu ditutup oleh polisi karena sedang diadakan semacam upacara di bawahnya. Jalan di seberangnya, tempat kami berdiri sangat ramai, sehingga sulit sekali mengambil foto. Setelah mengambil foto secukupnya kami memutuskan untuk kembali naik Big Bus. 

Kami berhenti di perhentian berikutnya yaitu di depan Grand Palais. Setelah mengambil foto secukupnya kami kembali menunggu Big Bus. Perhentian kami berikutnya adalah Trocadero. Di teras Trocadero ramai sekali para turis yang duduk-duduk, berdiri dan berfoto dengan latar belakang menara Eiffel dari kejauhan. Ada seorang pengamen buta berkulit hitam yang menyanyi dengan suara yang sangat merdu. Lalu ada sekelompok anak muda latin yang melakukan ‘dance battle’ yang ditonton oleh banyak turis. Saya tertarik untuk menonton. Namun karena saya pendek, dan di di depan saya sudah banyak orang yang berdiri, sehingga saya tidak dapat melihat mereka yang menari dengan jelas, sehingga saya putuskan untuk keluar dari kerumunan tersebut. Saya celingak-celinguk mencari Syifa. Namun tiba-tiba ada satu ekor lebah yang terbang mendekat kearah saya dan dalam sekejap lebah itu menyengat jari jempol saya dekat kuku. Tangan kiri saya memang menggantung di depan perut saya karena saya menggantungkan tas dengan legan kiri bawah. Saya kaget sekali dan rasanya sakiiitt…. sekali. Saya ambil minyak aromaterapi dari tempat kosmetik di dalam tas saya dan langsung saya oleskan. 

Saya panik mencari-cari Syifa, namun saya tidak dapat menemukannya. Saya duduk sebentar, mencoba untuk berpikir di mana Syifa kira-kira. Lalu terlintas di pikiran saya mungkin Syifa ikut berkerumun menonton dance battle. Saya berdiri dan mencari Syifa di kerumunan. Ternyata benar, Syifa ada di barisan depan. Langsung saya panggil dan colek Syifa.
“Syifa, sini…! Jempol Mama disengat lebah!”Kata saya sambil meringis. Syifa langsung keluar dari kerumunan.
“Terus, gimana Ma?” Tanya Syifa.
“Ayo kita minta tolong ke security!” Jawab saya. Lalu kami bergegas berjalan ke arah satpam yang berjaga mengawasi para turis.
“Sir, can you help me? My finger was stung by a bee.” Kata saya pada satpam itu.
“Wait here,” kata satpam itu, dan dia masuk ke dalam restoran di samping itu. Tidak lama kemudian dia keluar membawa secangkir es. Dia juga mengambilkan serbet untuk membungkus es tersebut. Lalu saya tempelkan bungkusan es tersebut di atas bekas gigitan lebah tersebut. Kami duduk selama beberapa menit. Lalu satpam itu menyarankan kami untuk pergi ke Pharmacy (toko obat), katanya saya akan dapat obat gratis. Lalu kami berpamitan, mengucapkan terima kasih dan mengembalikan serbet dengan es tersebut. 

Di ujung pelataran Trocadero itu ada beberapa polisi yang sedang berjaga, lalu Syifa bertanya pada polisi tersebut di mana Pharmacy terdekat. Polisi tersebut mengatakan bahwa semua toko sudah tutup karena sudah jam 8 malam (walaupun masih terang benderang seperti jam 4 sore). Kami baru sadar bahwa di Eropa jam 18.00 toko-toko sudah pada tutup. Karena jempol saya bengkak dan berwarna merah keunguan, Syifa mulai cemas. Ia mengajak saya untuk kembali ke hotel, agar ada wifi dan bisa browsing di internet mencari infromasi apa yang harus dilakukan bila tersengat lebah.

 Kami berjalan kaki melewati menara Eiffel untuk menuju hotel. Di depan menara Eiffel ada booth menjual makanan berupa sandwitch, burger, kebab, dll. Tempat itu ramai, sehingga menarik perhatian kami. Karena sudah jam 8 malam lebih, kami juga sudah mulai lapar. Syifa masuk ke antrian untuk ikut membeli. Setelah Syifa sampai di antrian terdepan, penjualnya berkata “No halal…!”. Syifa masih pengen beli dan bilang yang cheese saja, tapi si penjual berkali-kali bilang “No halal…!” Akhirnya kami putuskan untuk pergi saja. Kami berjalan sekitar 15 menit untuk sampai di hotel. Setelah terhubung  dengan wifi, langsung saya browsing tentang tindakan pertama bila tersengat lebah. Info yang saya dapatkan setelah disengat lebah:
1.       Segera cabut bila ada sengatnya yang menempel.
2.       Jangan ditekan-tekan agar bisanya tidak menyebar.
3.       Cuci bagian yang tersengat lebah dengan air dan sabun.
4.       Bila ada es, tempelkan es untuk mengurangi rasa sakit, bisa juga olesi dengan pasta gigi.
5.       Minum tablet pereda nyeri yang mengandung parasetamol atau ibuprofen.
6.       Rasa sakit masih akan terasa sampai beberapa hari. 

Setelah saya lakukan semua step di atas, rasa sakitnya mulai berkurang, lalu saya mengajak Syifa untuk makan malam di luar dan kembali ke Eiffel melihat Eiffel di malam hari seperti yang disarankan teman saya Yetty. Sebelum keluar saya mampir ke resepsionis untuk memesan taksi untuk kami besok pagi ke bandara. Kata resepsionis, hotel memang kerjasama dengan perusahaan taksi dan akan menanyakan apakah ada taksi yang tersedia. Karena penerbangan kami jam 11.20, maka saya minta dijemput jam 08.00. Setelah menelepon perusahaan taksi, resepsionis mengatakan bahwa untuk 2 orang ongkos taksi sebesar 36 Euro dan saya harus membayar uang uang muka sebesar 16 euro, dan pelunasan sisanya sebanyak 20 euro pada supir taksi esok hari. Rupanya di Paris, untuk taksi ke bandara, ongkos dihitung per penumpang. Untuk satu penumpang 28 euro, 2 penumpang 36 euro dan seterusnya.  

Setelah keluar dari hotel, kami putuskan untuk makan di restoran pasta di seberang hotel kami. Kami pilih tempat duduk di dalam, dekat jendela. Dari tempat duduk kami, kami melihat bagian atas menara Eiffel.  Di luar restoran juga disediakan banyak meja dan kursi, namun udara terasa agak dingin bagi saya. Kami memesan satu spaghetti carbonara saja karena kami tahu porsinya pasti besar, sedangkan untuk makan malam kami biasa makan sedikit. Namun waiternya mengatakan bahwa bila ada 2 orang yang makan di restoran, tidak boleh memesan satu makanan saja. Akhirnya kami pesan satu Loyang pizza, namun untuk take away. Ternyata benar, porsi spaghetti carbonara-nya sangat besar, bahkan kami berdua tidak mampu menghabiskannya. 

Pada jam 22.00, saat kami sedang menyantap makanan kami, kami melihat lampu-lampu berkerlap-kerlip di menara Eiffel. Kami makin bersemangat untuk cepat-cepat kembali ke sana. Namun 15 menit kemudian lampu-lampu tersebut padam, Eiffel masih dipenuhi lampu-lampu namun tidak berkerlap-kerlip. Pada saat kami mebayar, kami tanya pada waiter, apakah kerlap-kerlip di Eiffel akan menyala lagi? Waiter menjawab bahwa kerlap-kerlip akan menyala lagi jam 23 dan jam 24. 

Kami keluar dari restoran, waktu sudah hampir jam 22.30 dan suasana sudah mulai gelap, seperti magrib kalau di Indonesia. Kami berjalan santai menuju Eiffel melewati jalan Rue Desaix yang sudah berkali-kali kami lewati. Syifa agak khawatir karena jalan yang kami lewati cukup sepi, namun itu adalah jalan terdekat. Ketika kami sampai di taman di Champ de mars, kami lihat ramai sekali orang yang menikmati pemandangan Eiffel di malam hari. Tepat jam 23.00, Eiffel kembali bermandikan kerlap-kerlip lampu. Kami ambil foto sebanyak mungkin. Lima menit kemudian, setelah kerlap-kerlipnya padam, kami kembali ke hotel. 

Kami sampai di hotel sudah hampir jam 23.30 lalu mulai mengepak-ngepak barang. Untung saja Syifa membeli koper yang lebih besar dari kopernya yang jebol, sehingga barang-barang kami bisa masuk semua. Kami tidur sudah hampir jam 01.00. 

Jam 06.00 saya terbangun karena weker, tapi rasanya masih mengantuk sekali. Setelah sholat subuh saya tidur lagi dan baru mandi jam 07.00. Syifa baru mandi jam 07.15. Jam 07.50 ada telpon dari resepsionist yang memberitahukan bahwa taksi kami sudah datang. Saya segera buru-buru turun ke bawah membawa 2 buah koper karena harus chek out dulu dan meminta Syifa untuk segera menyusul. Sesampainya di resepsionis ternyata supir taksi saya sudah menunggu. Resepsionis berkata bahwa pembayaran hotel saya sudah lunas dibayar dimuka dan saya hanya perlu membayar pajak sebesar 6 Euro. Saya kumpulkan uang koin sebesar 6 euro dan saya serahkan ke resepsionis. Saya meminta supir  untuk membawa koper saya dulu. Tepat saat itu Syifa tiba di lobby dan kami bergegas menyusul supir tersebut. 

Taksi kami parkir di ujung jalan. Ternyata taksi kami berupa mobil van yang sangat nyaman. Sudah ada 3 orang penumpang yang menunggu kami di dalam. Seorang laki-laki di samping supir dan sepasang suami istri di belakang supir. Saya dan Syifa duduk di baris ke 3 dan di belakang kami bagasi tempat koper-kami. Saya merasa kurang enak dengan penumpang-penumpang tersebut yang menunggu kami cukup lama. 

Perjalanan ke bandara pagi itu cukup macet. Kami sampai di bandara setelah 1 jam 15 menit berkendara. Dalam perjalanan ke bandara saya melihat ternyata di kota Paris sangat luas, juga memiliki banyak gedung-gedung tinggi yang modern. Rupanya area menara Eiffel adalah daerah kota tua, daerah turis.   

Kami sampai di bandara Charles de Gaule, di terminal 2C sudah jam 09.20. Kami bergegas masuk, namun Syifa ingin ke toilet dulu. Karena kami celingak-celinguk mencari sign toilet, seorang laki-laki bertanya pada kami apa yang kami cari. Kata saya kami butuh ke toilet, lalu dia menunjukkan pada kami untuk turun ke toilet di lantai basement. Lalu kami berjalan mencari lift dan ternyata benar, ada petunjuk bahwa toilet di lantai bawah. Kami masuk ke lift, lalu keluar menuju toilet. Saya menunggu Syifa di luar. Setelah menunggu Syifa cukup lama, kami kembali ke lift. Namun liftnya tidak berfungsi. Sudah semakin banyak orang yang bergerombol di depan lift, namun lift tidak juga terbuka. Saya berinisiatif menuju tangga, lalu naik. Namun belum saya sampai di atas, petugas keamanan menegur saya, menyuruh saya turun dan menunggu di bawah. “It’s forbidden area. Just wait for 10 minutes.” Katanya. Saya pun turun dan kembali menunggu di depan lift. Orang-orang yang ramai menunggu, rebut berbicara dengan bahasa Prancis dan beberapa bahasa lainnya yang tidak saya pahami. Saya menunggu dengan sabar namun deg-degan. 

Setelah hampir satu jam menunggu, jam 10.30, akhirnya lift terbuka dan kami bergegas masuk dan berhenti di lantai 1. Kami mencari-cari loket Saudi Arabia Airline, sekalian mencari-cari kalau-kalau Bu Desty masih menunggu kami. Tapi tidak yakin Bu Desty masih mau menunggu, pasti Bu Desty sudah masuk duluan. Kami temukan loket itu sudah sepi. Kami bergegas untuk check in, dan meminta maaf pada petugasnya, menjelaskan bahwa kami terlambat karena terhambat di basement selama 1 jam. Petugasnya berkata bahwa dia mengerti dan masih tetap bersikap tenang dan ramah. Dia berkata bahwa kami harus segera menuju gate …. dengan bergegas. Kami segera menuju gate yang di sebutkan dan melewati pemeriksaan immigrasi. Setelah sampai di ruang tunggu, saya mengedarkan pandangan mencari Bu Desty, tapi tidak melihatnya. Tak lama kemudian penumpang diminta untuk mulai masuk ke pesawat. Kami pun antri untuk masuk. Saya gembira sekali melihat Bu Desty. Kami pun langsung berceloteh menceritakan pengalaman kami. Bu Desty menceritakan tentang bawaannya yang overweight, sehingga ia harus membongkar kopernya dan membeli tas baru agar barangnya sebagian dibawa ke kabin. Saya pun menceritakan pengalaman saya yang stuck di basement selama 1 jam dan memohon maaf karena tidak bisa membawakan sebagian barang Bu Desty. 

Kami masuk pesawat dan duduk di tempat yang berbeda. Setelah 5 jam terbang kami transit di Riyadh selama 5 jam 50 menit. Kami segera mencari money changer untuk menukarkan euro dengan Riyal. Kami cukup lapar, karena tadi di pesawat kami cuma diberi makan satu potong sandwitch. Di bandara Riyadh kami membayangkan akan makan di restoran yang menjual makan Arab, ternyata tidak ada sama sekali. Cuma ada  kafe yang menjual roti dan kopi, lalu restoran Pizza dan Burger King. Karena tadi pagi sudah sarapan pizza, kami putuskan untuk makan di Burger King saja. Kami pesan mozarela finger, chicken stripes, onion ring dan salad. Waiternya menawarkan French fries, gratis katanya. Karena gratis saya iyakan saja. Ternyata French friesnya sangat banyak, sehingga kami tidak mampu menghabiskannya. 

Setelah ke toilet, sholat Magrib dan Isya, kami pun menuju ke ruang tunggu. Kami lihat di monitor, penerbangan SV 822 menuju Jakarta masih belum ada info gate-nya. Bu Desty yang sudah pernah transit di Riyadh waktu berangkat, kelihatan lebih percaya diri dan mengajak kami untuk bertanya pada petugas di suatu tempat di bandara tsb. Petugas itu menjawab pertanyaan Bu Desty bahwa penumpang Saudia SV 822 menunggu di gate 27. Kami pun berjalan menuju gate 27. Tak lama kemudian di monitor pun muncul info bahwa penerbangan kami ada di gate 27B. Kami pun sedikit bingung, karena gate itu hanya 27 saja, tidak ada A atau B-nya. Tapi kami menunggu saja di gate 27, sambil berdiri, karena bandara sangat ramai dan semua kursi sudah diduduki calon penumpang. Saya merasa bahwa bandara King Khalid ini sangat tidak nyaman. 

Akhirnya kami mendengar pengumuman bahwa penumpang Saudia SV 822 dipersilahkan naik ke pesawat. Kami pun antri masuk ke gate tersebut. Ternyata kami harus naik bis dulu untuk naik ke pesawat. Kami dapat duduk di barisan tengah.
Sekitar jam 14.00 kami mendarat di Jakarta dengan selamat.    


Friday, October 13, 2017

Jalan-jalan di Swiss

Kami tiba di Geneva sudah jam 11.30 malam. Yetty teman saya yang tinggal di Geneva sudah menunggu di pintu keluar. Saya agak khawatir Yetty menunggu kami terlalu lama, namun sepertinya Yetty dapat informasi bahwa kereta kami terlambat dan dia kelihatan tetap gembira menyambut kami. Kami keluar dari stasiun sambil mengobrol riang. Lalu kami naik trem selama 5 menit dan turun dari trem kami berjalan sekitar 5 menit dan sampailah kami di apartemen Yetty. Yetty rupanya sudah memasak nasi dan ikan serta ayam untuk makan malam kami. Kami langsung menyantap masakan Yetty yang terasa lezat karena sudah 2 hari tidak bertemu nasi dan kami sangat rindu masakan Padang. Setelah makan, kami mandi dan bersiap untuk tidur. “Besok pagi kita harus bangun jam 6.00, karena besok kita ke Zermatt dan keretanya jam 08.00”, pesan Yetty sebelum kami tidur.  Yetty sudah membooking tiket kereta terusan untuk kami ke Zermatt.


Esok paginya kami langsung bersiap-siap untuk jalan-jalan ke Zermatt dan Bern. Yetty menyiapkan nasi untuk bekal kami nanti piknik. Yetty berkata lebih aman kita bawa bekal, karena kita belum tahu jam berapa kita sampai. Di Swiss bila sudah lewat jam makan siang, restoran sudah tidak mau melayani pelanggannya untuk makan siang. Tidak seperti di Indonesia, jam berapa saja kita ingin makan, restoran tetap melayani. 




Di stasiun kami mampir ke toko roti untuk membeli roti dan croissant untuk sarapan. Lalu kami mencari monitor untuk mencari tahu jadwal dan peron kereta kami. Kami naik kereta yang sangat nyaman. Kami  sarapan di kereta sambil menikmati pemandangan yang sangat indah dari jendela kereta. Sekitar jam 10 kereta kami berhenti di Brig, kami turun dan mengecek di monitor jadwal dan peron kereta menuju Zermat. Kami harus menunggu hampir jam. Kami putuskan untuk mencari café untuk ngopi dulu, karena Syifa juga ingin ke toilet. Lima belas menit sebelum jadwal keberangkatan, kami meninggalkan kafe kembali ke stasiun. Kami naik kereta menuju Zermatt. Petugas di kereta menawarkan apakah kami mau membeli tiket kereta untuk naik ke puncak atau ke Gornergrat. Kami langsung iyakan dan membayar sebesar 47 euro perorang. 


Zermatt adalah daerah turis, banyak sekali hotel-hotel dan penginapan berarsitektur paduan kayu dengan batu-batu alam.  Sesampai di Zermatt, kami keluar dari stasiun, lalu menyebrang jalan, masuk ke stasiun kereta Gornergrat Bahn. Kereta ini mendaki ke Gornergrat dengan ketinggian 3100 meter. Pemandangan di kiri kanan kereta sungguh indah, pemandangan bukit-bukit dengan phon-pohon dan hotel-hotel dan penginapanyang menambah keindahanannya. Akhirnya puncak Gornergrat kami, pemandangan yang disajikan adalah pemandangan gunung Matterhorn yang masih bersalju, walaupun musim panas. 





Kami mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan memakan bekal makan siang kami dengan pemandangan gunung bersalju dan udara yang sejuk namun matahari bersinar terang. Lalu kami mengambil foto sepuasnya di berbagai lokasi. Setelah puas menikmati pemandangan gunung bersalju, kami pun turun kembali. Kami tidak perlu membayar tiket lagi karena tiket sudah termasuk pulang pergi. 



Dari Zermatt kami naik kereta menuju Bern. Bern adalah ibukota Swiss. Di Bern terdapat kantor-kantor kedutaan besar negara-negara lain. Waktu memasuki Kota Bern, hari sudah menunjukkan waktu jam 6 sore namun suasana masih sangat terang benderang. Saya sangat terkesan, dari kereta saya melihat sungai yang melintasi kota yang airnya sangat bening, dan dipinggiran sungai tersebut ramai sekali warga yang berjemur dan berenang.  Mereka tampak gembira bermain air di musim panas ini. Rasanya saya ingin bergabung dengan mereka ikut nyebur berenang di sungai tersebut. 


Kami berhenti di stasiun kereta kota Bern, lalu berjalan kaki ke mal.Syifa membeli es krim dan Yetty membeli Dunkin Donut. Kata Yetty dia sudah lama banget tidak makan Dunkin donut. Lalu kami keluar dari mal dan berjalan kaki di pusat keramaian sore hari di Bern. Toko-toko sudah tutup, yang ramai malahan kafe-kafe dan restoran. Di ada beberapa jalan tengah kota ini hanya ada trem yang lewat. Tidak ada mobil. Pejalan kaki sangat dimanjakan karena trotoarnya luas sekali. Lalu kami berbelok ke gedung  Parlemen yang arsitekturnya khas klasik Eropa. Kami masuk ke halaman belakang gedung tersebut, karena gedung ini berada di ketinggian, kami melihat pemandangan sebagian kota Bern dari taman belakangnya. Indah sekali. “Bahagia sekali orang yang bekerja di gedung ini, melihat pemandangan yang begitu indah setiap hari.” Kata saya pada Yetty. 




Lalu kami lanjutkan jalan-jalan sore kami di kota Bern, melihat orang-orang yang nongkrong-nongkrong di kafe-kafe outdoor, menikmati bunga-bunga penghias jalan dan bangunan serta trotoarnya luas dan nyaman. Hampir jam 9 malam kami kembali naik kereta ke Geneve. Kami tidak perlu membeli tiket lagi karena tiket kami sudah tiket terusan. 


Hari ke 2 di Swiss, Yetty akan mengajak kami jalan-jalan ke Annecy, kota kecil di Prancis yang dekat dengan Geneve. Abigail, anak asuh Yetty, akan mengantar kami dengan mobilnya. Abigail baru berusia 21 tahun. Yetty mengasuhnya sejak ia berusia 6 tahun. Abigail sudah lulus dari High School. Sebelum melanjutkan ke universitas, ia bekerja dulu di supermarket Millagros, menggunakan uang gajinya untuk membeli mobil dan berjalan-jalan ke Amerika. Tahun ini Abigail akan masuk universitas jurusan pendidikan anak usia 6 tahun ke bawah. Abigail mengajak Mamanya, Mala yang berdarah India yang berasal dari Malaysia. 


Kami janjian dengan Abigail dan Mala di bus stop. Lalu kami bersama-sama menuju lokasi tempat Abigail memarkir mobilnya. Abigail memarkir mobilnya jauh di pinggir kota karena gratis. Bila ia parkir di parking lot dekat rumahnya, ia harus membayar parkir setiap 2 jam dengan harga yang sangat mahal. Mobil Abigail yang mungil cukup untuk kami berlima, yaitu saya, Syifa, Yetty, Abigail dan Mala. Abigail membawa GPS-nya untuk membantu kami memberi petunjuk jalan. Karena di Prancis, internet mereka tidak akan berfungsi. 

Kami keluar dari Swiss menuju Prancis, namun tidak ada batas yang massive antara kedua Negara tersebut. Udara terasa panas, karena mobil Abigail tidak ada pendingin. Memang kebanyakan mobil di Eropa tidak memiliki pendingin, kebalikan dari mobil di Indonesia, mobil Eropa memiliki pemanas. Terasa sekali perbedaan antara pemandangan di Swiss dan Prancis. Pemandangan di Prancis tidak seindah pemandangan di Swiss. Keluar dari tol menuju Annecy, jalanan macet karena kendaraan yang sangat ramai. Sepertinya banyak orang yang ingin berlibur ke Annecy di hari Sabtu musim panas ini. Keluar dari tol kami masuk ke tengah kota, ada sebuah danau yang indah yang ramai sekali oleh pengunjung. Kami mencari tempat parkir di dekat danau itu, namun tempat parkir penuh. Mala sampai bertengkar dengan orang lain memperebutkan tempat parkir. Akhirnya kami keluar dari tempat parkir tiu dan parkir di basement sebuah hotel. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu untuk mendapatkan tempat parkir. 

Karena sudah siang dan lapar, kami putuskan untuk makan siang dulu. Di sepanjang sungai yang airnya berasal dari danau, berderet kafe-kafe. Kami pilih sebuah kafe yang pernah dicoba oleh Yetty dan menurutnya makanannya enak. Ternyata porsinya sangat besar, dan memang enak, namun tak satupun diantara kami yang sanggup menghabiskannya. Kami Untuk berlima kami membayar 103 Euro. Kata Mala, ini murah, di Swiss kita pasti akan membayar lebih banyak, karena di Swiss biaya hidup sangat tinggi. 


Setelah makan kami berjalan-jalan di pinggir sungai yang airnya bening dan di pagarnya digantungi pot-pot tanaman yang penuh bunga-bunga berwarna-warni sambil berfoto-foto ria. Setelah puas berjalan-jalan dan berfoto-foto, kami kembali ke tempat parkir dan kembali ke Geneve. Abigail langsung ke rumah temannya, dan kami ikut turun di dekat rumah temannya dan berjalan sedikit ke tempat perhentian trem. Lalu kami naik trem menuju pusat kota Geneve. Kami berjalan dulu ke sebuah kafe dan memesan minuman serta ngobrol sebentar dengan Mala. 



Setelah Mala pulang, kami berjalan menuju Lake Geneve melihat Jet D’eau, air mancur buatan di danau Geneve. Pinggiran danau itu sangat ramai oleh pengunjung, karena baru saja ada Lake Parade, yaitu parade warga Geneve di sekitar danau dengan berpakaian minim menyambut musim panas. Namun waktu kami sampai di danau, ternyata parade sudah usai. Namun masih banyak warga dan turis yang nongkrong menikmati suasana danau. Pagar yang membatasi danau dengan taman dibatasi oleh pagar yang digantungi pot bunga yang berwarna warni. Di sisi lain danau banyak boat/yatch yang parkir. Lalu kami berjalan menyusuri dermaga yang menjorok ke danau yang mendekat ke arah Jet D’eau. 





Setelah mendekati jam 20.00 kami pun beranjak pulang ke apartemen Yetty. Yetty ingin mengajak kami makan pasti, namun kami belum terlalu lapar. Akhirnya Yetty punya ide untuk memasak nasi goreng untuk makan malam kami. 

Hari ke 3 di Swiss kami sudah bangun jam 06.00 pagi dan bersiap-siap untuk berangkat ke Rigi. Yetty sudah membeli tiket terusan untuk kami. Dari apartement Yetty kami naik kereta menuju stasiun CFF Geneve. Sesampainya di stasiun kami langsung mengamati monitor untuk mencari jadwal dan peron kereta ke Luzern. Kami sempat bingung, karena seharusnya ada kereta yang langsung ke Luzern, tapi di monitor tidak ada. Kami segera ke informasi, petugasnya menjelaskan bahwa ada perbaikan jalur kereta sehingga tidak ada kereta langsung ke Luzern, kami harus naik kereta dulu Olten, lalu baru nyambung ke Luzern. 



Kota Luzern ini, bisa juga ditulis dengan Lucerne. Dengan bahasa Prancis mereka biasa menulis Luzern, dengan bahasa Jerman atau Inggris, biasa ditulis dengan Lucerne. Swiss adalah Negara unik dengan 4 bahasa. Kota-kota tertentu menggunakan bahasa Prancis, misalnya Geneva, sebagian lagi menggunakan bahasa Jerman, seperti kota Bern dan Lucerne, sebagian lagi Italia, serta bahasa Romans yang penggunanya lebih sedikit. Karena di Swiss banyak pendatang, pekerja di kantor-kantor PBB, imigran dan turis, sehingga bahasa Inggris juga banyak digunakan. 

Sesampainya di Luzern, kami keluar dari stasiun kereta dan menyeberangi jalan menuju pelabuhan boat di danau Luzern. Ternyata waktu kami sampai, boat baru saja berangkat. Kami harus menunggu boat satu jam lagi. Kami memanfaatkan waktu menunggu dengan berfoto-foto di sekitar pelabuhan. Daerah di sekitar pelabuhan. Ada sungai yang berhulu di danau Luzern, lalu jembatan dan bangunan-bangunan dengan arsitektur klasik khas eropa, bunga-bungan yang ditanam dipinggir danau dan di pinggir jalan.  yang berpadu menciptakan pemandangan yang sangat memanjakan mata. 



Lima belas menit sebelum jadwal keberangkatan boat, kami kembali berjalan kaki ke pelabuhan. Ketika kami sampai di pelabuhan ternyata sudah banyak turis yang antri di depan pintu masuk ke boat. Kami mengantri tidak lama, sebuah boat datang, menurunkan penumpang, lalu penumpang yang mengantri masuk dengan tertib. 


Kami memilih duduk di bagian belakang boat, di bagian yang tidak beratap. Perjalanan kami dengan boat tidak lama, saya lupa juga menghitung waktunya, namun tidak lebih dari 1 jam. Pemandangan sepanjang danau sangat indah, bukit-bukit dengan vila-vila di kakinya. Boat berhenti di Weggis menurunkan penumpang, sebelum kami turun di Vitznau, tempat kami turun dari boat. 



Setelah kami turun dari boat, kami melanjutkan perjalanan kami dengan kereta Rigi-Bahn untuk naik ke Puncak Rigi, Kereta ini memiliki jendela yang lebar-lebar yang sepertinya dirancang khusus untuk menikmati pemandangan yang luar biasa cantik saat mendaki puncak Rigi. Saya jadi teringat dengan daerah Puncak, Bogor. Seandainya pemerintah daerah kepikiran untuk membangun rel kereta dan menyediakan kereta dari Jakarta sampai ke Puncak, minimal dari Kota Bogor ke Puncak, tentunya Puncak tidak akan mengalami kemacetan parah setiap akhir minggu. Sedangkan keadaan sekarang sebaliknya, jalanan ke Puncak selalu macet.  Banyaknya kendaraan yang mengeluarkan gas CO dan CO2  mengakibatkan polusi udara, sehingga membuat temperature di Puncak yang dulunya dingin, sekarang menjadi panas. Kamar-kamar di hotel-hotel dan resort sudah membutuhkan AC, tanaman teh di perkebunan sudah tidak bisa tumbuh subur lagi, karena tanaman teh butuh suhu yang dingin untuk tumbuh dengan baik. 













Sesampai di Puncak Rigi, kami terpesona dengan keindahan panorama di sekeliling kami. Tampak bukit-bukit hijau dan lima danau serta pohon-pohon cemara yang tumbuh berkelompok-kelompok namun acak,  menambah keindahannya. Bahkan rumput-rumput liarnya pun indah, diselingi oleh bunga-bunga berwarna-warni. 




Menjelang sore kami turun lagi dengan kereta Rigi-Bahn. Tak menunggu lama, boat kami pun tiba. Karena gerimis, kami memilik duduk di dalam, di café. Saya memesan capucino hangat, karena udara yang agak dingin. Setelah sampai di Lucerne, kami bergegas menyeberang ke stasiun agar tidak terlalu malam sampai di Geneva. Karena masih ada perbaikan rel, kami harus naik kereta ke Lausanne dulu, lalu nyambung ke Geneva. Kami senang sekali karena kereta kami kereta beritingkat yang sangat mewah, kalaupun kami ada di kelas 2. Kami pilih tempat duduk di lantai atas. Saya berdoa dan berharap agar transportasi umum di Indonesia bisa segera senyaman transportasi di Swiss ini. Karena keretanya sangat nyaman, kami sama sekali tidak merasa capek. Kami ngobrol sepanjang perjalanan yang hampir 4 jam. Hari sudah menunjukkan jam 23.00 waktu Geneva ketika kami sampai di apartemen Yetty. 


Hari ke 4 di Swiss kami berencana hanya berkeliling kota Geneva. Kami keluar sudah agak siang, jam 11. Yetty sempat belanja dan memasak ayam gulai untuk kami. Saya lihat tas belanja Yetty terbuat dari kertas. Warga  Swiss rupanya sudah mengurangi penggunaan plastic. Pertama kami kantor United Nation (UN), dalam bahasa Indonesianya PBB. Di depan kantor UN tersebut berderet bendera-bendera negara-negara anggotanya. Di seberang jalannya ada sebuah monumen yang berbentuk kursi yang salah satu kakinya patah. Monumen tersebut dikenal dengan nama Broken Chair yang dibangun oleh organisasi kemanusiaan Handycap International.







Lalu kami lanjut ke Old town Geneva, melihat-lihat bangunan tua di sana. Lalu kami mampir ke toko kosmetik, Lush, yang lagi populer di kalangan anak remaja. Lalu kami jalan-jalan ke pertokoan membeli oleh-oleh jam tangan. Yetty menyarankan saya untuk membeli jam tangan asli Swiss mumpung lagi di Swiss. Saya beli satu untuk Mama saya, satu untuk suami dan satu untuk saya sendiri. Lalu kami bertemu dengan teman Yetty, Mbak Dona, wanita  Indonesia yang menikah dengan warga negara Prancis tapi tinggal  di Geneva, yang memang sedang ada di sekitar kami juga. Karena Syifa merasa lapar, kami putuskan untuk ke food court dan makan malam dengan nasi. Selama di Swiss, Alhamdulillah setiap hari saya makan nasi. Hehehe….




Jam 20.00 kami pulang ke apartement Yetty. Kami nggak mau pulang terlalu malam, karena perlu waktu untuk membereskan koper. Besok pagi kami akan naik kereta ke Paris. Yetty menambah koper kami satu lagi, yang berisi oleh-oleh untuk keluarganya di Indonesia. Karena pesawat kami waktu pulang nanti adalah Saudia, yang mengizinkan penumpang membawa 2 koper masuk ke bagasi.