Pagi-pagi sekali kami sudah
bangun, lalu bersiap-siap untuk berangkat ke Paris. Tiket kami jam 09.40 pagi
dengan kereta TGV Lyria Geneve-Paris. Kami keluar dari apartement Yetty jam
08.55. Namun saat kami menunggu tram untuk ke stasiun kereta, koper Syifa jebol
reslitingnya. Untuk beberapa saat saya bingung apa yang harus dilakukan, namun
karena waktu sudah mepet, nggak ada waktu lagi untuk beli-beli koper. Karena
tram sudah datang, kami putuskan untuk lanjut ke stasiun. Sesampai di stasiun
Yetty membantu saya ke money changer untuk menukar uang Swiss Franc kembali ke
Euro, karena di Paris yang berlaku mata uang Euro. Sambil nunggu Yetty di Money
changer saya coba untuk membuka resleting koper yang jebol, tapi sulit.
Akhirnya saya putuskan untuk membawa koper jebol itu dengan hati-hati, dan
membeli koper baru di Paris saja karena waktu yang sudah sangat mepet.
Kami lihat di monitor bahwa
kereta TGV Lyria yang ke Paris ada di peron 8, maka dengan setengah berlari
kami menuju peron 8. Dipintu masuk ada petugas immigrasi yang mencegat dan
meminta passport kami. Setelah menunjukkan passport dan melewatkan koper kami
di X-ray, kami pun bergegas menuju peron. Di tiket yang saya pesan secara
online dari Jakarta sudah ditentukan tempat duduk kami di kelas 2, gerbong 16
dan kursi nomor 64 dan 65. Karena waktu yang sudah sangat mepet kami naik saja
ke gerbong terdekat, yaitu gerbong 15, menyimpan koper kami yang besar-besar
dan satu jebol di tempat penyimpanan koper gerbong 15. Selanjutnya kami bisa
berjalan dengan tenang di dalam gerbong mencari gerbong nomor 16 dan nomor
tempat duduk kami. Kereta tidak penuh, hanya kira-kira 50% yang terisi. Tidak
lama setelah kami menemukan tempat duduk, kereta pun bergerak menuju Paris. Tiga
setengah jam tidak terasa, hanya sekitar jam 12 siang perut kami yang mulai
terasa lapar, kami makan roti yang kami bawa dari rumah Yetty. Sebelum mencapai
Paris, kereta berhenti di beberapa stasiun.
Kereta sampai di Paris, di
stasiun Gare Lyon tepat jam 13.10. Kami terpaksa keluar yang terakhir dari
gerbong karena harus melawan arus penumpang lain yang keluar dari gerbong 16
ini, karena barang-barang kami ada di gerbong 15. Syifa keluar gerbong lebih
dahulu dengan membawa koper ungu titipan Yetty, namun saya kaget, ternyata ada
2 laki-laki dari Timur tengah yang membantu Syifa mengeluarkan koper dari
gerbong dan meletakkannya di trolley. Kami berdua cukup kaget dan membiarkan
kedua laki-laki itu membantu kami. Salah seorang laki-laki yang lebih muda
berbicara pada saya dalam bahasa Inggris bahwa saya tidak perlu khawatir, dia
hanya membantu saya. Dia bertanya saya akan ke mana, dan saya jawab bahwa kami
akan ke Tim Hotel dekat Eiffel. Saya pikir biarlah dia membantu dari pada kami
kesulitan menggeret-geret 3 buah koper. Apalagi koper yang jebol tampak aman di
letakkan di trolley.
Laki-laki yang agak tua yang
sepertinya tidak mampu berbahasa Inggris mulai mendorong trolley yang berisi
koper-koper kami, lalu kami bergegas mengikuti. Saya sampaikan ke pria yang
lebih muda yang bisa berbahasa Inggris bahwa saya perlu taxi untuk ke hotel.
Dia mengiyakan dan menjelaskan beberapa hal mengenai stasiun Gare Lyon ini,
seperti tempat yang bisa saya gunakan untuk menyimpan koper. Saya katakan
padanya bahwa saya sudah pernah ke sini, untuk memberi kesan padanya bahwa saja
tidak bego-bego amat dan tidak bisa dia tipu. Lalu dia bertanya untuk ke berapa
kalinya saya ke Paris, saya jawab yang ke dua kalinya.
Akhirnya kami sampai di pangkalan
taxi, kami harus mengantri karena ada beberapa pasangan yang sudah lebih dahulu
mengantri. Saya bertanya pada laki-laki itu berapa saya harus membayar mereka.
Dia menjawab terserah saya, yang penting saya happy. Setelah antria semakin
pendek, saya mengeluarkan uang 10 Euro dari tas saya. Laki-laki itu berkata,
“It’s too small, you should pay 30 euros, because there are 3 suitcases, 10
euros for 1”.
Saya bilang, “Thirty is too much,
I’ll give you 20, I don’t bring much money”. Akhirnya laki-laki itu setuju
dengan 20 euro. Tapi uang itu masih saya pegang di tangan sampai taxi datang
dan mereka membantu kami mengangkat barang-barang kami ke bagasi taxi. Setelah
semua beres dan saya siap masuk ke taxi, uang 20 euro tersebut saya serahkan ke
laki-laki tersebut. Saya ucapkan terima kasih. Saya sangat bersyukur dan merasa
sangat terbantu, walaupun saya tidak tahu apakah membayar cukup atau terlalu
mahal untuk jasa mereka.
Setelah duduk di taxi, saya
tunjukkan ke supir taxi alamat hotel saya yang tercantum di kertas reservasi
yang saya pesan secara on line dan
saya print. Supir taxi rupanya tahu area tersebut, karena
memang lokasi hotel kami adalah area turis, yang dekat dengan menara Eiffel.
Tidak sampai 30 menit kami tiba
di taxi dan argonya hanya 17,70 Euro. Saya serahkan uang 20 Euro, supir taxinya
tepat mengembalikan 2 Euro 30 sen. Dia membantu kami mengeluarkan barang-barang
keluar dari bagasi. Setelah mengucapkan “Merci,” kami pun masuk ke lobby
Timhotel Tour Eiffel ini. Lobby hotelnya kecil, di sebelah kiri ada meja resepsionis,
di sebelah kana nada satu set sofa yang kecil dan seperangkat cangkir, air
panas, teh, kopi, gula sachet dan satu nampan kecil croissant.
“Bonjour,” resepsionis hotel
memberi salam pada kami. Lalu saya balas dan saya tunjukkan print out pemesanan
hotel saya dan saya serahkan passport. Kebetulan waktu baru menunjukkan jam
13.45, sedangkan jam check in adalah jam 14.00, tapi resepsionis laki-laki
tersebut mengatakan bahwa kamar kami akan siap dalam 5 menit. Dia menjelaskan
bahwa kamar kami nomor 12 di lantai 2. Di kamar disediakan, minuman dan teh
serta kopi. Dia menjelaskan juga kode untuk naik lift. Lalu saya minta password
untuk wifi, hal yang sangat penting karena saya ingin segera online.
Saya bertanya di mana saya dapat
berbelanja koper karena salah satu koper kami jebol. Dia menjelaskan bahwa
tempat belanja yang bagus adalah Gallery Lafayette, tapi terlalu jauh. Lalu dia
mengambil peta jaringa hotel tersebut dan menunjukkan ke saya arah dari hotel
ke Commerce street tempat yang lebih dekat untuk berbelanja.
Tidak lama kemudian kami naik ke
hotel melalui lift yang sangat sempit, hanya muat saya dan dua koper saya, dan ada
satu staff hotel yang ikut naik dan membantu saya menekan tombol lift dan
menunjukkan kamar kami. Saya masuk ke kamar yang tidak begitu luas, sekitar 3,5
X 3, namun cukup nyaman dan bersih. Saya cek kamar mandinya, sangat nyaman,
bersih dan modern. Saya teringat Syifa masih di bawah, segera saya menuju lift
menunggu Syifa. Akhirnya Syifa naik dengan satu koper kami. Kami beristirahat
sambil mengecek-ngecek pesan di HP. Namun saat jam 3 perut kami mulai
keroncongan. Kami putuskan untuk keluar makan dan diteruskan dengan naik city
tour bus, tapi tidak turun. Kami kami hanya mengandalkan wifi untuk mencari
arah, maka di hotel kami screen capture
arah jalan ke Menara Eiffel, dengan berjalan kaki. Kami akan makan di restoran on the way ke Eiffel. Setelah sampai di jalan saya ingatkan Syifa
untuk mengingat-ingat tanda-tanda tertentu dijalan menuju hotel, agar kami
tidak kesulitan bila pulang nanti.
Disepanjang jalan menuju Eiffel
kami banyak menemukan restoran, saya amati banyak sekali restoran pasta dan
pizza. Kami putuskan untuk makan pasta di sebuah restoran Italia. Kami pesan
salad, dan pasta. Waiternya bertanya apakah kami muslimah, kami jawab dengan
iya. Lalu dia masuk dan tak lama kemudian keluar membawa pesanan kami dan
mengatakan bahwa makanan yang disajikan halal. Setelah makan dan membayar, kami
bertanya ke waiter arah menuju Eiffel. Dia berkata, lurus saja sambil menunjuk
ke satu arah. Selama berjalan kami kami melihat satu keluarga muslim jadi
gelandangan, duduk di trotoar, berselimut dan meminta-minta.
Tak lama berjalan kaki kami mulai
melihat ujung menara Eiffel. Syifa berkata, “Kayaknya kecil deh menaranya.”.
Tapi semakin kami berjalan mendekat menara itu semakin terlihat raksasa.
Akhirnya Syifa berubah pikiran, “Ternyata menaranya besar, Ma.” Semakin kami
mendekat, saya melihat banyak pedagang asongan berkulit hitam yang berjualan
souvenir oleh-oleh miniature menara Eiffel, mereka membawa kantong dari kain
yang keempat ujungnya diberi tali dari bahan kain juga. Kantong itu yang setiap
saat bisa ditebarkan di tanah sebagai tikar alas dagangannya dan dapat dalam
satu detik dibungkus menjadi sebuah kantong apabila ada polisi. Tapi karena kami baru sampai, kami belum
tertarik membeli oleh-oleh.
Kami mengamati suasana sekitar,
lalu kami mencari tempat berhentinya city tour bus. Tak lama kemudian kami
melihat city tour bus lewat dengan tulisan Big Bus, persis seperti brosur yang
Yetty berikan pada kami. Kami bergegas menuju tempat pemberhentian bis
tersebut. Kami naik dan membeli tiket pada supirnya. Saya berkata pada supirnya
bahwa saya mau tiket untuk 2 hari, hari ini dan besok. Supirnya bertanya apakah
kami ingin tiketnya termasuk tiket naik boat dan saya jawab tidak, lalu saya
serahkan uang 100 euro, dia mengembalikan 32 euro. Di dalam brosur disebutkan
bahwa tiket seharga 39 euro berlaku untuk 2 hari dan dapat digunakan juga untuk
naik boat. Rupanya kami juga bisa membeli tiket yang tidak termasuk tiket naik
boat seharga 34 euro.
Karena masih panas, saya memilih
duduk di dalam bis, sedangkan Syifa langsung mencari tempat duduk ke atas bus
yang tidak ada atapnya. Saya senang sekali karena karena di Big Bus ini ada
wifi, langsung saya online memberi kabar pada suami, kirim location dan
foto-foto. Karena kami naik dari depan menara Eiffel, bis melanjutkan rutenya
melalui Parc du Mars, terus melewati ecole Militaire, terus ke Invades,
melewati jalan antara Petit Palais dan Grand Palais, melewati Place de
concorde, terus memutari gedung Opera, lalu masuk du Louvre, keluar lagi
melewati pinggiran sungai Seine, lalu menyebrang melewati Notre Dame, lalu
kembali kea rah Eiffel di pinggiran sungai Seine melewati Musee d’Orsay, kembali
menyeberangi sungai Seine dan memutari Place de la Concorde, taman Palais de
Elysee, terus melewati pertokoan di jalan Champ de Elysee, lalu memutari Arc de
Triomphe, kembali melewati pertokoan di jalan Champ de Elysee, kembali melewati
jalan antara Petit Palais dan Grand Palais, melewati pinggiran sungai Seine
lagi, melewati Plais de Tokyo, Musse de Homme, Trocadero, kembali menyeberangi
sungai Seine dan berakhir kembali di depan Eiffel. Satu kali putaran tersebut
kami menghabiskan waktu 2 jam 20 menit.
Kami putuskan untuk turun, dan
berjalan kembali ke hotel. Di jalan pulang kami melewati toko buah yang
dagangannya berupa buah-buahan khas Eropa, ada buah plum, peach, ceri, apel,
pir, ada juga pisang, dan lain-lain. Saya mampir untuk membeli 1 pak buah ceri.
Pedagangnya tidak memberi kami plastic, namun dia memasukkan buah yang saya
beli ke dalam kantong kertas. Ternyata warga Prancis juga sudah mengurangi
penggunaan plastik. Sebelum
beristirahat, kami mampir ke restoran pasta dan pizza di dekat hotel, memesan
satu Loyang pizza untuk makan malam di hotel.
Keesokan harinya kami berencana
pergi membeli koper Syifa yang jebol. Kami keluar dari hotel sudah hampir jam
11 siang. Kami berjalan kaki sepanjang jalan Rue Juge, terus ke Rue Tiphaine,
sampai mentok dan belok kanan ke Rue Commerce. Di sepanjang Rue Commerse
berderet toko-toko. Kami mengamati semua toko untuk mencari toko yang menjual
koper. Hampir semua toko sedang “soldes”, bahasa Prancis dari sale. Setelah berjalan beberapa blok,
kami menemukan toko tas yang juga menjual koper. Kami masuk dan menemukan
banyak pilihan koper. Kami pilih satu koper medium
size, yg ukurannya lebih besar dari ukuran koper Syifa yang jebol yang
berukuran cabin size.
Lalu kami kembali ke hotel
menyimpan koper tersebut, sholat Dhuhur dan Ashar, lalu kembali keluar untuk
makan di restoran Thailand, Ayuthaya yang kami lewati waktu membeli koper tadi.
Saya memesan seafood green curry dan
Syifa tom yam, masing-masing dengan nasi. Senang juga bisa makan nasi, karena
tadinya kami sudah bersiap tidak bertemu nasi selama dua hari di Paris.
Setelah makan siang kami berjalan
kaki menuju stasiun Metro terdekat, karena Syifa ingin mencoba naik Metro
(kereta bawah tanah) di Paris. Kami hanya berjalan sekitar 200 meter karena
stasiun Metro Granelle. Kami mempelajari petunjuk peta dan memutuskan arah
Metro yang kami ambil dan turun di stasiun apa. Lalu kami ke mesin pembelian
tiket dan membeli tiket. Pada saat kami membeli tiket ada seorang anak
laki-laki berusia 10 atau 11 tahun yang ikut campur, ingin mengajari kami. Anak
itu bertanya ke Syifa, “How old are you?” Saya jawab “She is seventeen.”
Setelah tiket kami keluar dari mesin, kami
berjalan menuju pintu masuk. Saat saya sudah di dalam saya lihat Syifa dihambat
masuk oleh anak kecil tadi. Dia sepertinya ingin masuk ke stasiun tanpa tiket
dengan mendompleng pada Syifa. Akhirnya Syifa bisa masuk dengan menyelip dan
anak itu tertinggal di luar. Syifa kelihatan “shock” diganggu anak itu.
Lalu kami berjalan ke bawah
menuju peron. Kami merasa bahwa kereta bawah tanah di Prancis tidak begitu
nyaman dan agak seram. Setelah kereta datang, kami segera naik dan memutuskan
untuk langsung turun di stasiun pemberhentian pertama, Ecole Militaire. Kami
keluar dari stasiun dan berjalan menuju taman Champ du Mars, taman dengan
rerumputan di belakang menara Eiffel. Kami langsung foto-foto dengan latar
belakang menara Eiffel dan rerumputan hijau. Kemudian kami mencari tempat
pemberhentian bis, karena ingin berkeliling dan turun di tiap bus stop. Saya
lihat ada bis city tour, saya langsung naik dan menunjukkan tiket yang sudah
saya beli kemaren, karena kemaren saya sudah membeli tiket untuk 2 hari. Namun
supir bisnya berkata,”It’s different company.” Lalu kami turun dari bis, saya
baru sadar bahwa bis yang kami naiki barusan namanya Sight seeing, sedangkan
bis yang kami naiki kemaren tulisannya Big Bus. Tak lama menunggu, Big Bus pun
datang, dan kami bergegas naik.
Perhentian pertama yang menarik
bagi kami untuk turun adalah di gedung Opera. Kami berjalan mengelilinginya dan
mengambil foto sepuasnya. Lalu kami kembali berjalan menuju ke perhentian bis,
lalu naik dan berhenti di bus stop yang ke 4, yaitu Big us info center. Di bus
stop ini tempat pertukaran bila ingin berpindah ke jalur biru, yaitu jalur yang
melewati Moulin Rouge, Sacre-ceour, Gare du Nord, dst. Rute perjalanan dengan
jalur biru menghabiskan waktu sekitar 1 jam 10 menit. Namun di jalur biru ini
kami tidak turun. Syifa cukup shock,
karena di sepanjang jalur biru ini banyak berjejer toko-toko yang menjual
perlengkapan dewasa. Setelah sampai di bus stop awal kami naik jalur biru tadi,
kami pun turun dan berjalan kaki menuju museum De Louvre.
Kami sangat terpesona dengan
arsitektur bangunannya. Kami tidak berniat masuk, karena waktu kami yang singkat.
Kami hanya berfoto sepuasnya dengan pyramid dan dan bangunan klasiknya. Lalu
kami berjalan kaki keluar dari bangunan du Louvre, menyusuri sungai Seine,
menuju perhentian bus no 5, untuk kembali naik Big Bus menuju Notre Dame. Namun
jalanan sangat macet karena sudah jam 5 sore dan sepertinya tidak ada Big is
yang tampak, kami putuskan untuk terus berjalan kaki saja menuju Notre Dame.
Kami berjalan cukup jauh, namun menyenangkan karena melewati sepanjang sungai
Seine yang indah yang dilewati oleh boat-boat yang membawa turis, pemandangan
di kiri-kanan kami adalah gedung-gedung dengan arsitektur klasik.
Gereja Notre Dame yang terletak
di sebuah pulau kecil di tengah sungai Seine ini, sangat ramai oleh pengunjung
yang berfoto. Di halamannya banyak burung merpati yang bermain bersama
pengunjung. Kami pun memanfaatkan waktu untuk segera berfoto-foto ria. Kami
berjalan ke arah depan gereja itu, yang menghadap ke sungai Seine, lalu kami
melihat sign ‘toilet’, kami langsung
ikuti arahnya karena sudah dari tadi menahan ingin buang air kecil. Toiletnya
ada di bawah tanah, harus membayar 1 euro dan tempatnya kurang nyaman dan
kurang bersih.
Lalu kami meneruskan berjalan
kaki menyeberangi sungai Seine, dan memutuskan untuk menunggu Big Bus lagi di
perhentian dekat Notre Dame dan meneruskan perjalanan kami untuk selanjutnya
berhenti di Arc de Triomphe. Kota Paris macet sekali di sore hari hari.
Akhirnya kami sampai di Arc de Triomphe, perhentian Big Bus ada di ujung jalan
Champ de Elysees yang ramai. Di jalan Champ de Elysees ini berderet toko-toko
barang-barang merek terkenal dan mendunia.
Kami berusaha untuk berfoto
dengan latar belakang Arc de Triomphe, tapi tempat itu ditutup oleh polisi
karena sedang diadakan semacam upacara di bawahnya. Jalan di seberangnya, tempat
kami berdiri sangat ramai, sehingga sulit sekali mengambil foto. Setelah
mengambil foto secukupnya kami memutuskan untuk kembali naik Big Bus.
Kami berhenti di perhentian
berikutnya yaitu di depan Grand Palais. Setelah mengambil foto secukupnya kami
kembali menunggu Big Bus. Perhentian kami berikutnya adalah Trocadero. Di teras
Trocadero ramai sekali para turis yang duduk-duduk, berdiri dan berfoto dengan
latar belakang menara Eiffel dari kejauhan. Ada seorang pengamen buta berkulit
hitam yang menyanyi dengan suara yang sangat merdu. Lalu ada sekelompok anak
muda latin yang melakukan ‘dance battle’ yang ditonton oleh banyak turis. Saya
tertarik untuk menonton. Namun karena saya pendek, dan di di depan saya sudah
banyak orang yang berdiri, sehingga saya tidak dapat melihat mereka yang menari
dengan jelas, sehingga saya putuskan untuk keluar dari kerumunan tersebut. Saya
celingak-celinguk mencari Syifa. Namun tiba-tiba ada satu ekor lebah yang
terbang mendekat kearah saya dan dalam sekejap lebah itu menyengat jari jempol
saya dekat kuku. Tangan kiri saya memang menggantung di depan perut saya karena
saya menggantungkan tas dengan legan kiri bawah. Saya kaget sekali dan rasanya
sakiiitt…. sekali. Saya ambil minyak aromaterapi dari tempat kosmetik di dalam tas
saya dan langsung saya oleskan.
Saya panik mencari-cari Syifa,
namun saya tidak dapat menemukannya. Saya duduk sebentar, mencoba untuk
berpikir di mana Syifa kira-kira. Lalu terlintas di pikiran saya mungkin Syifa
ikut berkerumun menonton dance battle. Saya berdiri dan mencari Syifa di
kerumunan. Ternyata benar, Syifa ada di barisan depan. Langsung saya panggil
dan colek Syifa.
“Syifa, sini…! Jempol Mama
disengat lebah!”Kata saya sambil meringis. Syifa langsung keluar dari
kerumunan.
“Terus, gimana Ma?” Tanya Syifa.
“Ayo kita minta tolong ke
security!” Jawab saya. Lalu kami bergegas berjalan ke arah satpam yang berjaga
mengawasi para turis.
“Sir, can you help me? My finger
was stung by a bee.” Kata saya pada satpam itu.
“Wait here,” kata satpam itu, dan
dia masuk ke dalam restoran di samping itu. Tidak lama kemudian dia keluar
membawa secangkir es. Dia juga mengambilkan serbet untuk membungkus es
tersebut. Lalu saya tempelkan bungkusan es tersebut di atas bekas gigitan lebah
tersebut. Kami duduk selama beberapa menit. Lalu satpam itu menyarankan kami
untuk pergi ke Pharmacy (toko obat), katanya saya akan dapat obat gratis. Lalu
kami berpamitan, mengucapkan terima kasih dan mengembalikan serbet dengan es
tersebut.
Di ujung pelataran Trocadero itu
ada beberapa polisi yang sedang berjaga, lalu Syifa bertanya pada polisi
tersebut di mana Pharmacy terdekat. Polisi tersebut mengatakan bahwa semua toko
sudah tutup karena sudah jam 8 malam (walaupun masih terang benderang seperti
jam 4 sore). Kami baru sadar bahwa di Eropa jam 18.00 toko-toko sudah pada
tutup. Karena jempol saya bengkak dan berwarna merah keunguan, Syifa mulai
cemas. Ia mengajak saya untuk kembali ke hotel, agar ada wifi dan bisa browsing
di internet mencari infromasi apa yang harus dilakukan bila tersengat lebah.
Kami berjalan kaki melewati menara Eiffel
untuk menuju hotel. Di depan menara Eiffel ada booth menjual makanan berupa
sandwitch, burger, kebab, dll. Tempat itu ramai, sehingga menarik perhatian
kami. Karena sudah jam 8 malam lebih, kami juga sudah mulai lapar. Syifa masuk
ke antrian untuk ikut membeli. Setelah Syifa sampai di antrian terdepan,
penjualnya berkata “No halal…!”. Syifa masih pengen beli dan bilang yang cheese
saja, tapi si penjual berkali-kali bilang “No halal…!” Akhirnya kami putuskan
untuk pergi saja. Kami berjalan sekitar 15 menit untuk sampai di hotel. Setelah
terhubung dengan wifi, langsung saya
browsing tentang tindakan pertama bila tersengat lebah. Info yang saya dapatkan
setelah disengat lebah:
1. Segera
cabut bila ada sengatnya yang menempel.
2. Jangan
ditekan-tekan agar bisanya tidak menyebar.
3. Cuci
bagian yang tersengat lebah dengan air dan sabun.
4. Bila
ada es, tempelkan es untuk mengurangi rasa sakit, bisa juga olesi dengan pasta
gigi.
5. Minum
tablet pereda nyeri yang mengandung parasetamol atau ibuprofen.
6. Rasa
sakit masih akan terasa sampai beberapa hari.
Setelah saya lakukan semua step
di atas, rasa sakitnya mulai berkurang, lalu saya mengajak Syifa untuk makan
malam di luar dan kembali ke Eiffel melihat Eiffel di malam hari seperti yang
disarankan teman saya Yetty. Sebelum keluar saya mampir ke resepsionis untuk
memesan taksi untuk kami besok pagi ke bandara. Kata resepsionis, hotel memang
kerjasama dengan perusahaan taksi dan akan menanyakan apakah ada taksi yang
tersedia. Karena penerbangan kami jam 11.20, maka saya minta dijemput jam
08.00. Setelah menelepon perusahaan taksi, resepsionis mengatakan bahwa untuk 2
orang ongkos taksi sebesar 36 Euro dan saya harus membayar uang uang muka
sebesar 16 euro, dan pelunasan sisanya sebanyak 20 euro pada supir taksi esok
hari. Rupanya di Paris, untuk taksi ke bandara, ongkos dihitung per penumpang.
Untuk satu penumpang 28 euro, 2 penumpang 36 euro dan seterusnya.
Setelah keluar dari hotel, kami
putuskan untuk makan di restoran pasta di seberang hotel kami. Kami pilih
tempat duduk di dalam, dekat jendela. Dari tempat duduk kami, kami melihat
bagian atas menara Eiffel. Di luar
restoran juga disediakan banyak meja dan kursi, namun udara terasa agak dingin
bagi saya. Kami memesan satu spaghetti carbonara saja karena kami tahu porsinya
pasti besar, sedangkan untuk makan malam kami biasa makan sedikit. Namun
waiternya mengatakan bahwa bila ada 2 orang yang makan di restoran, tidak boleh
memesan satu makanan saja. Akhirnya kami pesan satu Loyang pizza, namun untuk take away. Ternyata benar, porsi
spaghetti carbonara-nya sangat besar, bahkan kami berdua tidak mampu
menghabiskannya.
Pada jam 22.00, saat kami sedang
menyantap makanan kami, kami melihat lampu-lampu berkerlap-kerlip di menara
Eiffel. Kami makin bersemangat untuk cepat-cepat kembali ke sana. Namun 15
menit kemudian lampu-lampu tersebut padam, Eiffel masih dipenuhi lampu-lampu
namun tidak berkerlap-kerlip. Pada saat kami mebayar, kami tanya pada waiter,
apakah kerlap-kerlip di Eiffel akan menyala lagi? Waiter menjawab bahwa
kerlap-kerlip akan menyala lagi jam 23 dan jam 24.
Kami keluar dari restoran, waktu
sudah hampir jam 22.30 dan suasana sudah mulai gelap, seperti magrib kalau di
Indonesia. Kami berjalan santai menuju Eiffel melewati jalan Rue Desaix yang
sudah berkali-kali kami lewati. Syifa agak khawatir karena jalan yang kami
lewati cukup sepi, namun itu adalah jalan terdekat. Ketika kami sampai di taman
di Champ de mars, kami lihat ramai sekali orang yang menikmati pemandangan
Eiffel di malam hari. Tepat jam 23.00, Eiffel kembali bermandikan kerlap-kerlip
lampu. Kami ambil foto sebanyak mungkin. Lima menit kemudian, setelah
kerlap-kerlipnya padam, kami kembali ke hotel.
Kami sampai di hotel sudah hampir
jam 23.30 lalu mulai mengepak-ngepak barang. Untung saja Syifa membeli koper
yang lebih besar dari kopernya yang jebol, sehingga barang-barang kami bisa
masuk semua. Kami tidur sudah hampir jam 01.00.
Jam 06.00 saya terbangun karena
weker, tapi rasanya masih mengantuk sekali. Setelah sholat subuh saya tidur
lagi dan baru mandi jam 07.00. Syifa baru mandi jam 07.15. Jam 07.50 ada telpon
dari resepsionist yang memberitahukan bahwa taksi kami sudah datang. Saya
segera buru-buru turun ke bawah membawa 2 buah koper karena harus chek out dulu
dan meminta Syifa untuk segera menyusul. Sesampainya di resepsionis ternyata
supir taksi saya sudah menunggu. Resepsionis berkata bahwa pembayaran hotel
saya sudah lunas dibayar dimuka dan saya hanya perlu membayar pajak sebesar 6 Euro.
Saya kumpulkan uang koin sebesar 6 euro dan saya serahkan ke resepsionis. Saya
meminta supir untuk membawa koper saya
dulu. Tepat saat itu Syifa tiba di lobby dan kami bergegas menyusul supir
tersebut.
Taksi kami parkir di ujung jalan.
Ternyata taksi kami berupa mobil van yang sangat nyaman. Sudah ada 3 orang
penumpang yang menunggu kami di dalam. Seorang laki-laki di samping supir dan
sepasang suami istri di belakang supir. Saya dan Syifa duduk di baris ke 3 dan
di belakang kami bagasi tempat koper-kami. Saya merasa kurang enak dengan
penumpang-penumpang tersebut yang menunggu kami cukup lama.
Perjalanan ke bandara pagi itu
cukup macet. Kami sampai di bandara setelah 1 jam 15 menit berkendara. Dalam
perjalanan ke bandara saya melihat ternyata di kota Paris sangat luas, juga
memiliki banyak gedung-gedung tinggi yang modern. Rupanya area menara Eiffel
adalah daerah kota tua, daerah turis.
Kami sampai di bandara Charles de
Gaule, di terminal 2C sudah jam 09.20. Kami bergegas masuk, namun Syifa ingin
ke toilet dulu. Karena kami celingak-celinguk mencari sign toilet, seorang
laki-laki bertanya pada kami apa yang kami cari. Kata saya kami butuh ke
toilet, lalu dia menunjukkan pada kami untuk turun ke toilet di lantai
basement. Lalu kami berjalan mencari lift dan ternyata benar, ada petunjuk
bahwa toilet di lantai bawah. Kami masuk ke lift, lalu keluar menuju toilet.
Saya menunggu Syifa di luar. Setelah menunggu Syifa cukup lama, kami kembali ke
lift. Namun liftnya tidak berfungsi. Sudah semakin banyak orang yang
bergerombol di depan lift, namun lift tidak juga terbuka. Saya berinisiatif
menuju tangga, lalu naik. Namun belum saya sampai di atas, petugas keamanan
menegur saya, menyuruh saya turun dan menunggu di bawah. “It’s forbidden area.
Just wait for 10 minutes.” Katanya. Saya pun turun dan kembali menunggu di
depan lift. Orang-orang yang ramai menunggu, rebut berbicara dengan bahasa
Prancis dan beberapa bahasa lainnya yang tidak saya pahami. Saya menunggu
dengan sabar namun deg-degan.
Setelah hampir satu jam menunggu,
jam 10.30, akhirnya lift terbuka dan kami bergegas masuk dan berhenti di lantai
1. Kami mencari-cari loket Saudi Arabia Airline, sekalian mencari-cari
kalau-kalau Bu Desty masih menunggu kami. Tapi tidak yakin Bu Desty masih mau
menunggu, pasti Bu Desty sudah masuk duluan. Kami temukan loket itu sudah sepi.
Kami bergegas untuk check in, dan meminta maaf pada petugasnya, menjelaskan
bahwa kami terlambat karena terhambat di basement selama 1 jam. Petugasnya
berkata bahwa dia mengerti dan masih tetap bersikap tenang dan ramah. Dia
berkata bahwa kami harus segera menuju gate …. dengan bergegas. Kami segera
menuju gate yang di sebutkan dan melewati pemeriksaan immigrasi. Setelah sampai
di ruang tunggu, saya mengedarkan pandangan mencari Bu Desty, tapi tidak
melihatnya. Tak lama kemudian penumpang diminta untuk mulai masuk ke pesawat.
Kami pun antri untuk masuk. Saya gembira sekali melihat Bu Desty. Kami pun
langsung berceloteh menceritakan pengalaman kami. Bu Desty menceritakan tentang
bawaannya yang overweight, sehingga ia harus membongkar kopernya dan membeli
tas baru agar barangnya sebagian dibawa ke kabin. Saya pun menceritakan
pengalaman saya yang stuck di basement selama 1 jam dan memohon maaf karena
tidak bisa membawakan sebagian barang Bu Desty.
Kami masuk pesawat dan duduk di
tempat yang berbeda. Setelah 5 jam terbang kami transit di Riyadh selama 5 jam
50 menit. Kami segera mencari money changer untuk menukarkan euro dengan Riyal.
Kami cukup lapar, karena tadi di pesawat kami cuma diberi makan satu potong
sandwitch. Di bandara Riyadh kami membayangkan akan makan di restoran yang
menjual makan Arab, ternyata tidak ada sama sekali. Cuma ada kafe yang menjual roti dan kopi, lalu
restoran Pizza dan Burger King. Karena tadi pagi sudah sarapan pizza, kami
putuskan untuk makan di Burger King saja. Kami pesan mozarela finger, chicken
stripes, onion ring dan salad. Waiternya menawarkan French fries, gratis
katanya. Karena gratis saya iyakan saja. Ternyata French friesnya sangat
banyak, sehingga kami tidak mampu menghabiskannya.
Setelah ke toilet, sholat Magrib
dan Isya, kami pun menuju ke ruang tunggu. Kami lihat di monitor, penerbangan
SV 822 menuju Jakarta masih belum ada info gate-nya. Bu Desty yang sudah pernah
transit di Riyadh waktu berangkat, kelihatan lebih percaya diri dan mengajak
kami untuk bertanya pada petugas di suatu tempat di bandara tsb. Petugas itu
menjawab pertanyaan Bu Desty bahwa penumpang Saudia SV 822 menunggu di gate 27.
Kami pun berjalan menuju gate 27. Tak lama kemudian di monitor pun muncul info bahwa
penerbangan kami ada di gate 27B. Kami pun sedikit bingung, karena gate itu
hanya 27 saja, tidak ada A atau B-nya. Tapi kami menunggu saja di gate 27,
sambil berdiri, karena bandara sangat ramai dan semua kursi sudah diduduki
calon penumpang. Saya merasa bahwa bandara King Khalid ini sangat tidak nyaman.
Akhirnya kami mendengar
pengumuman bahwa penumpang Saudia SV 822 dipersilahkan naik ke pesawat. Kami
pun antri masuk ke gate tersebut. Ternyata kami harus naik bis dulu untuk naik
ke pesawat. Kami dapat duduk di barisan tengah.
Sekitar jam 14.00 kami mendarat
di Jakarta dengan selamat.