Friday, October 13, 2017

Jalan-jalan di Swiss

Kami tiba di Geneva sudah jam 11.30 malam. Yetty teman saya yang tinggal di Geneva sudah menunggu di pintu keluar. Saya agak khawatir Yetty menunggu kami terlalu lama, namun sepertinya Yetty dapat informasi bahwa kereta kami terlambat dan dia kelihatan tetap gembira menyambut kami. Kami keluar dari stasiun sambil mengobrol riang. Lalu kami naik trem selama 5 menit dan turun dari trem kami berjalan sekitar 5 menit dan sampailah kami di apartemen Yetty. Yetty rupanya sudah memasak nasi dan ikan serta ayam untuk makan malam kami. Kami langsung menyantap masakan Yetty yang terasa lezat karena sudah 2 hari tidak bertemu nasi dan kami sangat rindu masakan Padang. Setelah makan, kami mandi dan bersiap untuk tidur. “Besok pagi kita harus bangun jam 6.00, karena besok kita ke Zermatt dan keretanya jam 08.00”, pesan Yetty sebelum kami tidur.  Yetty sudah membooking tiket kereta terusan untuk kami ke Zermatt.


Esok paginya kami langsung bersiap-siap untuk jalan-jalan ke Zermatt dan Bern. Yetty menyiapkan nasi untuk bekal kami nanti piknik. Yetty berkata lebih aman kita bawa bekal, karena kita belum tahu jam berapa kita sampai. Di Swiss bila sudah lewat jam makan siang, restoran sudah tidak mau melayani pelanggannya untuk makan siang. Tidak seperti di Indonesia, jam berapa saja kita ingin makan, restoran tetap melayani. 




Di stasiun kami mampir ke toko roti untuk membeli roti dan croissant untuk sarapan. Lalu kami mencari monitor untuk mencari tahu jadwal dan peron kereta kami. Kami naik kereta yang sangat nyaman. Kami  sarapan di kereta sambil menikmati pemandangan yang sangat indah dari jendela kereta. Sekitar jam 10 kereta kami berhenti di Brig, kami turun dan mengecek di monitor jadwal dan peron kereta menuju Zermat. Kami harus menunggu hampir jam. Kami putuskan untuk mencari café untuk ngopi dulu, karena Syifa juga ingin ke toilet. Lima belas menit sebelum jadwal keberangkatan, kami meninggalkan kafe kembali ke stasiun. Kami naik kereta menuju Zermatt. Petugas di kereta menawarkan apakah kami mau membeli tiket kereta untuk naik ke puncak atau ke Gornergrat. Kami langsung iyakan dan membayar sebesar 47 euro perorang. 


Zermatt adalah daerah turis, banyak sekali hotel-hotel dan penginapan berarsitektur paduan kayu dengan batu-batu alam.  Sesampai di Zermatt, kami keluar dari stasiun, lalu menyebrang jalan, masuk ke stasiun kereta Gornergrat Bahn. Kereta ini mendaki ke Gornergrat dengan ketinggian 3100 meter. Pemandangan di kiri kanan kereta sungguh indah, pemandangan bukit-bukit dengan phon-pohon dan hotel-hotel dan penginapanyang menambah keindahanannya. Akhirnya puncak Gornergrat kami, pemandangan yang disajikan adalah pemandangan gunung Matterhorn yang masih bersalju, walaupun musim panas. 





Kami mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan memakan bekal makan siang kami dengan pemandangan gunung bersalju dan udara yang sejuk namun matahari bersinar terang. Lalu kami mengambil foto sepuasnya di berbagai lokasi. Setelah puas menikmati pemandangan gunung bersalju, kami pun turun kembali. Kami tidak perlu membayar tiket lagi karena tiket sudah termasuk pulang pergi. 



Dari Zermatt kami naik kereta menuju Bern. Bern adalah ibukota Swiss. Di Bern terdapat kantor-kantor kedutaan besar negara-negara lain. Waktu memasuki Kota Bern, hari sudah menunjukkan waktu jam 6 sore namun suasana masih sangat terang benderang. Saya sangat terkesan, dari kereta saya melihat sungai yang melintasi kota yang airnya sangat bening, dan dipinggiran sungai tersebut ramai sekali warga yang berjemur dan berenang.  Mereka tampak gembira bermain air di musim panas ini. Rasanya saya ingin bergabung dengan mereka ikut nyebur berenang di sungai tersebut. 


Kami berhenti di stasiun kereta kota Bern, lalu berjalan kaki ke mal.Syifa membeli es krim dan Yetty membeli Dunkin Donut. Kata Yetty dia sudah lama banget tidak makan Dunkin donut. Lalu kami keluar dari mal dan berjalan kaki di pusat keramaian sore hari di Bern. Toko-toko sudah tutup, yang ramai malahan kafe-kafe dan restoran. Di ada beberapa jalan tengah kota ini hanya ada trem yang lewat. Tidak ada mobil. Pejalan kaki sangat dimanjakan karena trotoarnya luas sekali. Lalu kami berbelok ke gedung  Parlemen yang arsitekturnya khas klasik Eropa. Kami masuk ke halaman belakang gedung tersebut, karena gedung ini berada di ketinggian, kami melihat pemandangan sebagian kota Bern dari taman belakangnya. Indah sekali. “Bahagia sekali orang yang bekerja di gedung ini, melihat pemandangan yang begitu indah setiap hari.” Kata saya pada Yetty. 




Lalu kami lanjutkan jalan-jalan sore kami di kota Bern, melihat orang-orang yang nongkrong-nongkrong di kafe-kafe outdoor, menikmati bunga-bunga penghias jalan dan bangunan serta trotoarnya luas dan nyaman. Hampir jam 9 malam kami kembali naik kereta ke Geneve. Kami tidak perlu membeli tiket lagi karena tiket kami sudah tiket terusan. 


Hari ke 2 di Swiss, Yetty akan mengajak kami jalan-jalan ke Annecy, kota kecil di Prancis yang dekat dengan Geneve. Abigail, anak asuh Yetty, akan mengantar kami dengan mobilnya. Abigail baru berusia 21 tahun. Yetty mengasuhnya sejak ia berusia 6 tahun. Abigail sudah lulus dari High School. Sebelum melanjutkan ke universitas, ia bekerja dulu di supermarket Millagros, menggunakan uang gajinya untuk membeli mobil dan berjalan-jalan ke Amerika. Tahun ini Abigail akan masuk universitas jurusan pendidikan anak usia 6 tahun ke bawah. Abigail mengajak Mamanya, Mala yang berdarah India yang berasal dari Malaysia. 


Kami janjian dengan Abigail dan Mala di bus stop. Lalu kami bersama-sama menuju lokasi tempat Abigail memarkir mobilnya. Abigail memarkir mobilnya jauh di pinggir kota karena gratis. Bila ia parkir di parking lot dekat rumahnya, ia harus membayar parkir setiap 2 jam dengan harga yang sangat mahal. Mobil Abigail yang mungil cukup untuk kami berlima, yaitu saya, Syifa, Yetty, Abigail dan Mala. Abigail membawa GPS-nya untuk membantu kami memberi petunjuk jalan. Karena di Prancis, internet mereka tidak akan berfungsi. 

Kami keluar dari Swiss menuju Prancis, namun tidak ada batas yang massive antara kedua Negara tersebut. Udara terasa panas, karena mobil Abigail tidak ada pendingin. Memang kebanyakan mobil di Eropa tidak memiliki pendingin, kebalikan dari mobil di Indonesia, mobil Eropa memiliki pemanas. Terasa sekali perbedaan antara pemandangan di Swiss dan Prancis. Pemandangan di Prancis tidak seindah pemandangan di Swiss. Keluar dari tol menuju Annecy, jalanan macet karena kendaraan yang sangat ramai. Sepertinya banyak orang yang ingin berlibur ke Annecy di hari Sabtu musim panas ini. Keluar dari tol kami masuk ke tengah kota, ada sebuah danau yang indah yang ramai sekali oleh pengunjung. Kami mencari tempat parkir di dekat danau itu, namun tempat parkir penuh. Mala sampai bertengkar dengan orang lain memperebutkan tempat parkir. Akhirnya kami keluar dari tempat parkir tiu dan parkir di basement sebuah hotel. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu untuk mendapatkan tempat parkir. 

Karena sudah siang dan lapar, kami putuskan untuk makan siang dulu. Di sepanjang sungai yang airnya berasal dari danau, berderet kafe-kafe. Kami pilih sebuah kafe yang pernah dicoba oleh Yetty dan menurutnya makanannya enak. Ternyata porsinya sangat besar, dan memang enak, namun tak satupun diantara kami yang sanggup menghabiskannya. Kami Untuk berlima kami membayar 103 Euro. Kata Mala, ini murah, di Swiss kita pasti akan membayar lebih banyak, karena di Swiss biaya hidup sangat tinggi. 


Setelah makan kami berjalan-jalan di pinggir sungai yang airnya bening dan di pagarnya digantungi pot-pot tanaman yang penuh bunga-bunga berwarna-warni sambil berfoto-foto ria. Setelah puas berjalan-jalan dan berfoto-foto, kami kembali ke tempat parkir dan kembali ke Geneve. Abigail langsung ke rumah temannya, dan kami ikut turun di dekat rumah temannya dan berjalan sedikit ke tempat perhentian trem. Lalu kami naik trem menuju pusat kota Geneve. Kami berjalan dulu ke sebuah kafe dan memesan minuman serta ngobrol sebentar dengan Mala. 



Setelah Mala pulang, kami berjalan menuju Lake Geneve melihat Jet D’eau, air mancur buatan di danau Geneve. Pinggiran danau itu sangat ramai oleh pengunjung, karena baru saja ada Lake Parade, yaitu parade warga Geneve di sekitar danau dengan berpakaian minim menyambut musim panas. Namun waktu kami sampai di danau, ternyata parade sudah usai. Namun masih banyak warga dan turis yang nongkrong menikmati suasana danau. Pagar yang membatasi danau dengan taman dibatasi oleh pagar yang digantungi pot bunga yang berwarna warni. Di sisi lain danau banyak boat/yatch yang parkir. Lalu kami berjalan menyusuri dermaga yang menjorok ke danau yang mendekat ke arah Jet D’eau. 





Setelah mendekati jam 20.00 kami pun beranjak pulang ke apartemen Yetty. Yetty ingin mengajak kami makan pasti, namun kami belum terlalu lapar. Akhirnya Yetty punya ide untuk memasak nasi goreng untuk makan malam kami. 

Hari ke 3 di Swiss kami sudah bangun jam 06.00 pagi dan bersiap-siap untuk berangkat ke Rigi. Yetty sudah membeli tiket terusan untuk kami. Dari apartement Yetty kami naik kereta menuju stasiun CFF Geneve. Sesampainya di stasiun kami langsung mengamati monitor untuk mencari jadwal dan peron kereta ke Luzern. Kami sempat bingung, karena seharusnya ada kereta yang langsung ke Luzern, tapi di monitor tidak ada. Kami segera ke informasi, petugasnya menjelaskan bahwa ada perbaikan jalur kereta sehingga tidak ada kereta langsung ke Luzern, kami harus naik kereta dulu Olten, lalu baru nyambung ke Luzern. 



Kota Luzern ini, bisa juga ditulis dengan Lucerne. Dengan bahasa Prancis mereka biasa menulis Luzern, dengan bahasa Jerman atau Inggris, biasa ditulis dengan Lucerne. Swiss adalah Negara unik dengan 4 bahasa. Kota-kota tertentu menggunakan bahasa Prancis, misalnya Geneva, sebagian lagi menggunakan bahasa Jerman, seperti kota Bern dan Lucerne, sebagian lagi Italia, serta bahasa Romans yang penggunanya lebih sedikit. Karena di Swiss banyak pendatang, pekerja di kantor-kantor PBB, imigran dan turis, sehingga bahasa Inggris juga banyak digunakan. 

Sesampainya di Luzern, kami keluar dari stasiun kereta dan menyeberangi jalan menuju pelabuhan boat di danau Luzern. Ternyata waktu kami sampai, boat baru saja berangkat. Kami harus menunggu boat satu jam lagi. Kami memanfaatkan waktu menunggu dengan berfoto-foto di sekitar pelabuhan. Daerah di sekitar pelabuhan. Ada sungai yang berhulu di danau Luzern, lalu jembatan dan bangunan-bangunan dengan arsitektur klasik khas eropa, bunga-bungan yang ditanam dipinggir danau dan di pinggir jalan.  yang berpadu menciptakan pemandangan yang sangat memanjakan mata. 



Lima belas menit sebelum jadwal keberangkatan boat, kami kembali berjalan kaki ke pelabuhan. Ketika kami sampai di pelabuhan ternyata sudah banyak turis yang antri di depan pintu masuk ke boat. Kami mengantri tidak lama, sebuah boat datang, menurunkan penumpang, lalu penumpang yang mengantri masuk dengan tertib. 


Kami memilih duduk di bagian belakang boat, di bagian yang tidak beratap. Perjalanan kami dengan boat tidak lama, saya lupa juga menghitung waktunya, namun tidak lebih dari 1 jam. Pemandangan sepanjang danau sangat indah, bukit-bukit dengan vila-vila di kakinya. Boat berhenti di Weggis menurunkan penumpang, sebelum kami turun di Vitznau, tempat kami turun dari boat. 



Setelah kami turun dari boat, kami melanjutkan perjalanan kami dengan kereta Rigi-Bahn untuk naik ke Puncak Rigi, Kereta ini memiliki jendela yang lebar-lebar yang sepertinya dirancang khusus untuk menikmati pemandangan yang luar biasa cantik saat mendaki puncak Rigi. Saya jadi teringat dengan daerah Puncak, Bogor. Seandainya pemerintah daerah kepikiran untuk membangun rel kereta dan menyediakan kereta dari Jakarta sampai ke Puncak, minimal dari Kota Bogor ke Puncak, tentunya Puncak tidak akan mengalami kemacetan parah setiap akhir minggu. Sedangkan keadaan sekarang sebaliknya, jalanan ke Puncak selalu macet.  Banyaknya kendaraan yang mengeluarkan gas CO dan CO2  mengakibatkan polusi udara, sehingga membuat temperature di Puncak yang dulunya dingin, sekarang menjadi panas. Kamar-kamar di hotel-hotel dan resort sudah membutuhkan AC, tanaman teh di perkebunan sudah tidak bisa tumbuh subur lagi, karena tanaman teh butuh suhu yang dingin untuk tumbuh dengan baik. 













Sesampai di Puncak Rigi, kami terpesona dengan keindahan panorama di sekeliling kami. Tampak bukit-bukit hijau dan lima danau serta pohon-pohon cemara yang tumbuh berkelompok-kelompok namun acak,  menambah keindahannya. Bahkan rumput-rumput liarnya pun indah, diselingi oleh bunga-bunga berwarna-warni. 




Menjelang sore kami turun lagi dengan kereta Rigi-Bahn. Tak menunggu lama, boat kami pun tiba. Karena gerimis, kami memilik duduk di dalam, di café. Saya memesan capucino hangat, karena udara yang agak dingin. Setelah sampai di Lucerne, kami bergegas menyeberang ke stasiun agar tidak terlalu malam sampai di Geneva. Karena masih ada perbaikan rel, kami harus naik kereta ke Lausanne dulu, lalu nyambung ke Geneva. Kami senang sekali karena kereta kami kereta beritingkat yang sangat mewah, kalaupun kami ada di kelas 2. Kami pilih tempat duduk di lantai atas. Saya berdoa dan berharap agar transportasi umum di Indonesia bisa segera senyaman transportasi di Swiss ini. Karena keretanya sangat nyaman, kami sama sekali tidak merasa capek. Kami ngobrol sepanjang perjalanan yang hampir 4 jam. Hari sudah menunjukkan jam 23.00 waktu Geneva ketika kami sampai di apartemen Yetty. 


Hari ke 4 di Swiss kami berencana hanya berkeliling kota Geneva. Kami keluar sudah agak siang, jam 11. Yetty sempat belanja dan memasak ayam gulai untuk kami. Saya lihat tas belanja Yetty terbuat dari kertas. Warga  Swiss rupanya sudah mengurangi penggunaan plastic. Pertama kami kantor United Nation (UN), dalam bahasa Indonesianya PBB. Di depan kantor UN tersebut berderet bendera-bendera negara-negara anggotanya. Di seberang jalannya ada sebuah monumen yang berbentuk kursi yang salah satu kakinya patah. Monumen tersebut dikenal dengan nama Broken Chair yang dibangun oleh organisasi kemanusiaan Handycap International.







Lalu kami lanjut ke Old town Geneva, melihat-lihat bangunan tua di sana. Lalu kami mampir ke toko kosmetik, Lush, yang lagi populer di kalangan anak remaja. Lalu kami jalan-jalan ke pertokoan membeli oleh-oleh jam tangan. Yetty menyarankan saya untuk membeli jam tangan asli Swiss mumpung lagi di Swiss. Saya beli satu untuk Mama saya, satu untuk suami dan satu untuk saya sendiri. Lalu kami bertemu dengan teman Yetty, Mbak Dona, wanita  Indonesia yang menikah dengan warga negara Prancis tapi tinggal  di Geneva, yang memang sedang ada di sekitar kami juga. Karena Syifa merasa lapar, kami putuskan untuk ke food court dan makan malam dengan nasi. Selama di Swiss, Alhamdulillah setiap hari saya makan nasi. Hehehe….




Jam 20.00 kami pulang ke apartement Yetty. Kami nggak mau pulang terlalu malam, karena perlu waktu untuk membereskan koper. Besok pagi kami akan naik kereta ke Paris. Yetty menambah koper kami satu lagi, yang berisi oleh-oleh untuk keluarganya di Indonesia. Karena pesawat kami waktu pulang nanti adalah Saudia, yang mengizinkan penumpang membawa 2 koper masuk ke bagasi.

1 comment: