Esok paginya kami langsung
bersiap-siap untuk jalan-jalan ke Zermatt dan Bern. Yetty menyiapkan nasi untuk
bekal kami nanti piknik. Yetty berkata lebih aman kita bawa bekal, karena kita
belum tahu jam berapa kita sampai. Di Swiss bila sudah lewat jam makan siang,
restoran sudah tidak mau melayani pelanggannya untuk makan siang. Tidak seperti
di Indonesia, jam berapa saja kita ingin makan, restoran tetap melayani.
Di stasiun kami mampir ke toko
roti untuk membeli roti dan croissant untuk sarapan. Lalu kami mencari monitor
untuk mencari tahu jadwal dan peron kereta kami. Kami naik kereta yang sangat
nyaman. Kami sarapan di kereta sambil
menikmati pemandangan yang sangat indah dari jendela kereta. Sekitar jam 10
kereta kami berhenti di Brig, kami turun dan mengecek di monitor jadwal dan
peron kereta menuju Zermat. Kami harus menunggu hampir jam. Kami putuskan untuk
mencari café untuk ngopi dulu, karena Syifa juga ingin ke toilet. Lima belas
menit sebelum jadwal keberangkatan, kami meninggalkan kafe kembali ke stasiun.
Kami naik kereta menuju Zermatt. Petugas di kereta menawarkan apakah kami mau
membeli tiket kereta untuk naik ke puncak atau ke Gornergrat. Kami langsung
iyakan dan membayar sebesar 47 euro perorang.
Zermatt adalah daerah turis,
banyak sekali hotel-hotel dan penginapan berarsitektur paduan kayu dengan
batu-batu alam. Sesampai di Zermatt,
kami keluar dari stasiun, lalu menyebrang jalan, masuk ke stasiun kereta Gornergrat
Bahn. Kereta ini mendaki ke Gornergrat dengan ketinggian 3100 meter.
Pemandangan di kiri kanan kereta sungguh indah, pemandangan bukit-bukit dengan
phon-pohon dan hotel-hotel dan penginapanyang menambah keindahanannya. Akhirnya
puncak Gornergrat kami, pemandangan yang disajikan adalah pemandangan gunung
Matterhorn yang masih bersalju, walaupun musim panas.
Kami mencari tempat yang nyaman
untuk duduk dan memakan bekal makan siang kami dengan pemandangan gunung
bersalju dan udara yang sejuk namun matahari bersinar terang. Lalu kami
mengambil foto sepuasnya di berbagai lokasi. Setelah puas menikmati pemandangan
gunung bersalju, kami pun turun kembali. Kami tidak perlu membayar tiket lagi
karena tiket sudah termasuk pulang pergi.
Dari Zermatt kami naik kereta
menuju Bern. Bern adalah ibukota Swiss. Di Bern terdapat kantor-kantor kedutaan
besar negara-negara lain. Waktu memasuki Kota Bern, hari sudah menunjukkan
waktu jam 6 sore namun suasana masih sangat terang benderang. Saya sangat
terkesan, dari kereta saya melihat sungai yang melintasi kota yang airnya
sangat bening, dan dipinggiran sungai tersebut ramai sekali warga yang berjemur
dan berenang. Mereka tampak gembira
bermain air di musim panas ini. Rasanya saya ingin bergabung dengan mereka ikut
nyebur berenang di sungai tersebut.
Kami berhenti di stasiun kereta
kota Bern, lalu berjalan kaki ke mal.Syifa membeli es krim dan Yetty membeli
Dunkin Donut. Kata Yetty dia sudah lama banget tidak makan Dunkin donut. Lalu
kami keluar dari mal dan berjalan kaki di pusat keramaian sore hari di Bern.
Toko-toko sudah tutup, yang ramai malahan kafe-kafe dan restoran. Di ada
beberapa jalan tengah kota ini hanya ada trem yang lewat. Tidak ada mobil.
Pejalan kaki sangat dimanjakan karena trotoarnya luas sekali. Lalu kami
berbelok ke gedung Parlemen yang
arsitekturnya khas klasik Eropa. Kami masuk ke halaman belakang gedung
tersebut, karena gedung ini berada di ketinggian, kami melihat pemandangan
sebagian kota Bern dari taman belakangnya. Indah sekali. “Bahagia sekali orang
yang bekerja di gedung ini, melihat pemandangan yang begitu indah setiap hari.”
Kata saya pada Yetty.
Lalu kami lanjutkan jalan-jalan
sore kami di kota Bern, melihat orang-orang yang nongkrong-nongkrong di
kafe-kafe outdoor, menikmati bunga-bunga penghias jalan dan bangunan serta
trotoarnya luas dan nyaman. Hampir jam 9 malam kami kembali naik kereta ke
Geneve. Kami tidak perlu membeli tiket lagi karena tiket kami sudah tiket
terusan.
Hari ke 2 di Swiss, Yetty akan
mengajak kami jalan-jalan ke Annecy, kota kecil di Prancis yang dekat dengan
Geneve. Abigail, anak asuh Yetty, akan mengantar kami dengan mobilnya. Abigail
baru berusia 21 tahun. Yetty mengasuhnya sejak ia berusia 6 tahun. Abigail
sudah lulus dari High School. Sebelum melanjutkan ke universitas, ia bekerja
dulu di supermarket Millagros, menggunakan uang gajinya untuk membeli mobil dan
berjalan-jalan ke Amerika. Tahun ini Abigail akan masuk universitas jurusan
pendidikan anak usia 6 tahun ke bawah. Abigail mengajak Mamanya, Mala yang
berdarah India yang berasal dari Malaysia.
Kami janjian dengan Abigail dan
Mala di bus stop. Lalu kami bersama-sama menuju lokasi tempat Abigail memarkir
mobilnya. Abigail memarkir mobilnya jauh di pinggir kota karena gratis. Bila ia
parkir di parking lot dekat rumahnya,
ia harus membayar parkir setiap 2 jam dengan harga yang sangat mahal. Mobil
Abigail yang mungil cukup untuk kami berlima, yaitu saya, Syifa, Yetty, Abigail
dan Mala. Abigail membawa GPS-nya untuk membantu kami memberi petunjuk jalan.
Karena di Prancis, internet mereka tidak akan berfungsi.
Kami keluar dari Swiss menuju
Prancis, namun tidak ada batas yang massive
antara kedua Negara tersebut. Udara terasa panas, karena mobil Abigail tidak
ada pendingin. Memang kebanyakan mobil di Eropa tidak memiliki pendingin,
kebalikan dari mobil di Indonesia, mobil Eropa memiliki pemanas. Terasa sekali
perbedaan antara pemandangan di Swiss dan Prancis. Pemandangan di Prancis tidak
seindah pemandangan di Swiss. Keluar dari tol menuju Annecy, jalanan macet
karena kendaraan yang sangat ramai. Sepertinya banyak orang yang ingin berlibur
ke Annecy di hari Sabtu musim panas ini. Keluar dari tol kami masuk ke tengah
kota, ada sebuah danau yang indah yang ramai sekali oleh pengunjung. Kami
mencari tempat parkir di dekat danau itu, namun tempat parkir penuh. Mala
sampai bertengkar dengan orang lain memperebutkan tempat parkir. Akhirnya kami
keluar dari tempat parkir tiu dan parkir di basement sebuah hotel. Hampir satu
jam kami menghabiskan waktu untuk mendapatkan tempat parkir.
Karena sudah siang dan lapar,
kami putuskan untuk makan siang dulu. Di sepanjang sungai yang airnya berasal
dari danau, berderet kafe-kafe. Kami pilih sebuah kafe yang pernah dicoba oleh
Yetty dan menurutnya makanannya enak. Ternyata porsinya sangat besar, dan
memang enak, namun tak satupun diantara kami yang sanggup menghabiskannya. Kami
Untuk berlima kami membayar 103 Euro. Kata Mala, ini murah, di Swiss kita pasti
akan membayar lebih banyak, karena di Swiss biaya hidup sangat tinggi.
Setelah makan kami berjalan-jalan
di pinggir sungai yang airnya bening dan di pagarnya digantungi pot-pot tanaman
yang penuh bunga-bunga berwarna-warni sambil berfoto-foto ria. Setelah puas
berjalan-jalan dan berfoto-foto, kami kembali ke tempat parkir dan kembali ke
Geneve. Abigail langsung ke rumah temannya, dan kami ikut turun di dekat rumah
temannya dan berjalan sedikit ke tempat perhentian trem. Lalu kami naik trem menuju
pusat kota Geneve. Kami berjalan dulu ke sebuah kafe dan memesan minuman serta
ngobrol sebentar dengan Mala.
Setelah Mala pulang, kami
berjalan menuju Lake Geneve melihat Jet D’eau, air mancur buatan di danau
Geneve. Pinggiran danau itu sangat ramai oleh pengunjung, karena baru saja ada
Lake Parade, yaitu parade warga Geneve di sekitar danau dengan berpakaian minim
menyambut musim panas. Namun waktu kami sampai di danau, ternyata parade sudah
usai. Namun masih banyak warga dan turis yang nongkrong menikmati suasana
danau. Pagar yang membatasi danau dengan taman dibatasi oleh pagar yang
digantungi pot bunga yang berwarna warni. Di sisi lain danau banyak boat/yatch
yang parkir. Lalu kami berjalan menyusuri dermaga yang menjorok ke danau yang
mendekat ke arah Jet D’eau.
Setelah mendekati jam 20.00 kami
pun beranjak pulang ke apartemen Yetty. Yetty ingin mengajak kami makan pasti,
namun kami belum terlalu lapar. Akhirnya Yetty punya ide untuk memasak nasi
goreng untuk makan malam kami.
Hari ke 3 di Swiss kami sudah
bangun jam 06.00 pagi dan bersiap-siap untuk berangkat ke Rigi. Yetty sudah
membeli tiket terusan untuk kami. Dari apartement Yetty kami naik kereta menuju
stasiun CFF Geneve. Sesampainya di stasiun kami langsung mengamati monitor
untuk mencari jadwal dan peron kereta ke Luzern. Kami sempat bingung, karena
seharusnya ada kereta yang langsung ke Luzern, tapi di monitor tidak ada. Kami
segera ke informasi, petugasnya menjelaskan bahwa ada perbaikan jalur kereta
sehingga tidak ada kereta langsung ke Luzern, kami harus naik kereta dulu
Olten, lalu baru nyambung ke Luzern.
Kota Luzern ini, bisa juga
ditulis dengan Lucerne. Dengan bahasa Prancis mereka biasa menulis Luzern,
dengan bahasa Jerman atau Inggris, biasa ditulis dengan Lucerne. Swiss adalah Negara
unik dengan 4 bahasa. Kota-kota tertentu menggunakan bahasa Prancis, misalnya
Geneva, sebagian lagi menggunakan bahasa Jerman, seperti kota Bern dan Lucerne,
sebagian lagi Italia, serta bahasa Romans yang penggunanya lebih sedikit.
Karena di Swiss banyak pendatang, pekerja di kantor-kantor PBB, imigran dan
turis, sehingga bahasa Inggris juga banyak digunakan.
Sesampainya di Luzern, kami
keluar dari stasiun kereta dan menyeberangi jalan menuju pelabuhan boat di
danau Luzern. Ternyata waktu kami sampai, boat baru saja berangkat. Kami harus
menunggu boat satu jam lagi. Kami memanfaatkan waktu menunggu dengan
berfoto-foto di sekitar pelabuhan. Daerah di sekitar pelabuhan. Ada sungai yang
berhulu di danau Luzern, lalu jembatan dan bangunan-bangunan dengan arsitektur
klasik khas eropa, bunga-bungan yang ditanam dipinggir danau dan di pinggir
jalan. yang berpadu menciptakan
pemandangan yang sangat memanjakan mata.
Lima belas menit sebelum jadwal
keberangkatan boat, kami kembali berjalan kaki ke pelabuhan. Ketika kami sampai
di pelabuhan ternyata sudah banyak turis yang antri di depan pintu masuk ke
boat. Kami mengantri tidak lama, sebuah boat datang, menurunkan penumpang, lalu
penumpang yang mengantri masuk dengan tertib.
Kami memilih duduk di bagian
belakang boat, di bagian yang tidak beratap. Perjalanan kami dengan boat tidak
lama, saya lupa juga menghitung waktunya, namun tidak lebih dari 1 jam.
Pemandangan sepanjang danau sangat indah, bukit-bukit dengan vila-vila di
kakinya. Boat berhenti di Weggis menurunkan penumpang, sebelum kami turun di
Vitznau, tempat kami turun dari boat.
Setelah kami turun dari boat,
kami melanjutkan perjalanan kami dengan kereta Rigi-Bahn untuk naik ke Puncak
Rigi, Kereta ini memiliki jendela yang lebar-lebar yang sepertinya dirancang
khusus untuk menikmati pemandangan yang luar biasa cantik saat mendaki puncak
Rigi. Saya jadi teringat dengan daerah Puncak, Bogor. Seandainya pemerintah
daerah kepikiran untuk membangun rel kereta dan menyediakan kereta dari Jakarta
sampai ke Puncak, minimal dari Kota Bogor ke Puncak, tentunya Puncak tidak akan
mengalami kemacetan parah setiap akhir minggu. Sedangkan keadaan sekarang
sebaliknya, jalanan ke Puncak selalu macet.
Banyaknya kendaraan yang mengeluarkan gas CO dan CO2 mengakibatkan polusi udara, sehingga membuat
temperature di Puncak yang dulunya dingin, sekarang menjadi panas. Kamar-kamar
di hotel-hotel dan resort sudah membutuhkan AC, tanaman teh di perkebunan sudah
tidak bisa tumbuh subur lagi, karena tanaman teh butuh suhu yang dingin untuk
tumbuh dengan baik.
Sesampai di Puncak Rigi, kami
terpesona dengan keindahan panorama di sekeliling kami. Tampak bukit-bukit
hijau dan lima danau serta pohon-pohon cemara yang tumbuh berkelompok-kelompok namun
acak, menambah keindahannya. Bahkan
rumput-rumput liarnya pun indah, diselingi oleh bunga-bunga berwarna-warni.
Menjelang sore kami turun lagi
dengan kereta Rigi-Bahn. Tak menunggu lama, boat kami pun tiba. Karena gerimis,
kami memilik duduk di dalam, di café. Saya memesan capucino hangat, karena
udara yang agak dingin. Setelah sampai di Lucerne, kami bergegas menyeberang ke
stasiun agar tidak terlalu malam sampai di Geneva. Karena masih ada perbaikan
rel, kami harus naik kereta ke Lausanne dulu, lalu nyambung ke Geneva. Kami
senang sekali karena kereta kami kereta beritingkat yang sangat mewah, kalaupun
kami ada di kelas 2. Kami pilih tempat duduk di lantai atas. Saya berdoa dan
berharap agar transportasi umum di Indonesia bisa segera senyaman transportasi
di Swiss ini. Karena keretanya sangat nyaman, kami sama sekali tidak merasa
capek. Kami ngobrol sepanjang perjalanan yang hampir 4 jam. Hari sudah
menunjukkan jam 23.00 waktu Geneva ketika kami sampai di apartemen Yetty.
Hari ke 4 di Swiss kami berencana
hanya berkeliling kota Geneva. Kami keluar sudah agak siang, jam 11. Yetty
sempat belanja dan memasak ayam gulai untuk kami. Saya lihat tas belanja Yetty
terbuat dari kertas. Warga Swiss rupanya
sudah mengurangi penggunaan plastic. Pertama kami kantor United Nation (UN), dalam bahasa Indonesianya PBB. Di depan kantor UN tersebut berderet bendera-bendera negara-negara anggotanya. Di seberang jalannya ada sebuah monumen yang berbentuk kursi yang salah satu kakinya patah. Monumen tersebut dikenal dengan nama Broken Chair yang dibangun oleh organisasi kemanusiaan Handycap International.
Lalu kami lanjut ke Old town Geneva,
melihat-lihat bangunan tua di sana. Lalu kami mampir ke toko kosmetik, Lush,
yang lagi populer di kalangan anak remaja. Lalu kami jalan-jalan ke pertokoan
membeli oleh-oleh jam tangan. Yetty menyarankan saya untuk membeli jam tangan
asli Swiss mumpung lagi di Swiss. Saya beli satu untuk Mama saya, satu untuk
suami dan satu untuk saya sendiri. Lalu kami bertemu dengan teman Yetty, Mbak
Dona, wanita Indonesia yang menikah
dengan warga negara Prancis tapi tinggal
di Geneva, yang memang sedang ada di sekitar kami juga. Karena Syifa merasa
lapar, kami putuskan untuk ke food court dan makan malam dengan nasi. Selama di
Swiss, Alhamdulillah setiap hari saya makan nasi. Hehehe….
Jam 20.00 kami pulang ke
apartement Yetty. Kami nggak mau pulang terlalu malam, karena perlu waktu untuk
membereskan koper. Besok pagi kami akan naik kereta ke Paris. Yetty menambah
koper kami satu lagi, yang berisi oleh-oleh untuk keluarganya di Indonesia.
Karena pesawat kami waktu pulang nanti adalah Saudia, yang mengizinkan
penumpang membawa 2 koper masuk ke bagasi.
Menarik sekali artikelnya
ReplyDelete