Hari ke 3 Jalan-jalan di Melbourne
Hari ke tiga kami mengunjungi
Ceres Community Environment Park. Dulunya lokasi ini adalah tanah kosong yang
tidak terurus. Akhirnya sekumpulan orang yang peduli dengan lingkungan
perlahan-lahan merubah lahan tersebut menjadi taman yang saat ini menjadi pusat
pendidikan lingkungan di Melbourne. Taman ini berlokasi di Burnswick East. Dari
Kavanagh st, kami berjalan kaki ke St Kilda street, lalu naik trem nomor 1
sampai di perempatan Swanston St dan Bourke St, lalu kami ganti trem ke nomor
96 menuju East Burnswick. Kami berhenti paling ujung/akhir rute trem, stop no
27. Lalu kami berjalan kaki sedikit menuju Ceres Community Environment Park.
Kami masuk ke visitor center dan menyampaikan ke
resepsionis bahwa saya sudah melakukan reservasi untuk tour guide. Sebelum berangkat ke Australia saya sudah melakukan reservasi
melalui website-nya. Kami dikenakan biaya AUD 165 untuk dua jam tour. Kami
pilih general tour, yang mana kami akan mendapat penjelasan tentang solusi
ketahanan air dan energy serta reproduksi tanaman serta tentang bangunan di
Ceres. Setelah membayar, datangnya tour guide kami, seorang pria yang tinggi
besar, di dada kanannya disematkan namanya, Sean. Setelah berkenalan, Sean
langsung mengajak kami untuk memulai tur. Pertama ia mengajak kami melihat
mobil listrik yang sedang di cas, dan lokasi tempat konservasi air. Air hujan
yang jatuh ke aspal dialirkan ke kolam yang disaring dengan pasir dan dialirkan
ke tangki penyimpanan yang nanti akan digunakan untuk menyiram toilet.
Kemudian Sean mengajak kami ke
area taman energy, di sana terdapat beberapa panel surya, pondok tempat
produksi biogas, kincir angin dan kincir
air. Lalu mengajak kami memasuki sebuah rumah yang sangat ramah lingkungan.
Interior rumah terbuat dari kayu daur ulang. Bagian dalam rumah didesain cukup
cahaya dengan meninggikan dinding rumah dan memberi kaca di dinding sebelum
plafon sehingga tidak perlu lampu di
siang hari. Di dalam rumah semua menggunakan lampu LED. Kami dijelaskan tentang
perpedaan energy yang dikonsumsi bila menggunakan lampu pijar, lampu neon dan
lampu LED. Juga ditunjukkan energy yang dihabiskan bila kita tidak mencabut
charger HP atau membiarkan TV tetap stand by
dengan sebuah alat ukur. Shane
juga memberikan tips agar hemat energy yaitu dengan menggunakan colokan yang
ada sakelarnya bila kita enggan mencabut colokan listrik. Dia juga
menjelaskan bahwa kita bisa merancang
agar di rumah kita ada satu sakelar yang dapat dipasang di dekat pintu keluar
dan dapat kita matikan bila keluar rumah, yang tidak mati hanya kulkas saja.
Sehingga bila kita keluar rumah tidak ada energy yang terbuang sia-sia.
Lalu kami dibawa ke bike shed, yaitu gudang tempat
sepeda-sepeda bekas yang rusak dibongkar, lalu diambil spare part-nya yang bagus,
lalu dirangkai lagi menjadi sepeda bisa digunakan. Menurut Shane hal ini bagus
untuk edukasi bagi anak-anak, sehingga mereka paham apa ayang membangun sebuah
sepeda dan bahkan sepeda rusakpun dapat bermanfaat (reuse).
Selanjutnya kami melihat-lihat
Indonesian Village, berupa sebuah pondok yang didekorasi dengan barang
kerajinan dari Indonesia. Bahkan ada becaknya. Indonesian village ini
dikembangkan oleh kenalan kami Ibu Ningsih yang dulu pernah bekerja di Ceres.
Lalu ada juga African village. Lalu kami masuk ke nursery ( tempat pembibitan tanaman), melihat-lihat kebun, kandang
ayam dan ke organic market yang
merupakan akhir dari tour kami. Lalu Sean memperkenalkan kami dengan Ben yang
merupakan staff global, bila kami ingin bekerja sama dengan Ceres. Setelah
berfoto bersama dan saling mengucapkan
selamat berpisah, kami menuju Merry Café untuk makan siang. Saya memesan Pho,
masakan Vietnam yang mirip kwetiaw kuah yang diberi sayuran toge dan kemangi.
Tapi karena tidak ada rasa pedasnya saya tidak begitu berselera.
Setelah makan, kami kembali naik
trem. Di tengah jalan kami melihat toko mainan dan turun untuk melihat-lihat.
Nanti tidak ada mainan yang cocok untuk dimainkan oleh anak-anak di sekolah.
Kami kembali naik trem. Lalu turun di depan Melbourne Museum. Melbourne Museum
yang arsitekturnya bergaya modern bersebelahan dengan Royal Exhibition Building
yang bergaya Victoria.
Di pintu masuk Melbourne Museum
banyak sekali anak-anak sekolah yang sedang excursion.
Kami membeli tiket seharga AUD 14 perorang lalu masuk ke dalam museum. Di
ruang utama di depan pintu masuk kami disuguhi koleksi yang luar biasa dan
sangat menarik yaitu rangka dinosaurus.
Kami melihat anak-anak sangat antusias melihat rangka-rangka tersebut.
Saya kagum melihat beberapa anak bule yang antri dengan tertib untuk
menggunakan semacam teropong walaupun tidak ada orang dewasa di sekitar mereka
yang menyuruh mereka antri bergantian menggunakan teropong tersebut. Di sini
yang langsung melihat efek pendidikan karakter di Australia yang sudah berjalan
dengan baik.
Museum ini sangat lengkap,
menarik, modern dan edukatif. Banyak keluarga-keluarga Australia yang membawa
anak-anak balitanya bermain ke museum ini. “Pantas saja Australia maju,
warganya pinter-pinter, masih kecil-kecil mainnya sudah ke tempat-tempat yang
edukatif”, pikir saya. Ada koleksi binatang-binatang yang diawetkan, yang sudah
mulai dikumpulkan sejak tahun 1800-an, ada juga koleksi hewan laut. Lalu ada
bagian human body yang memajang dengan detil semua bagian tubuh manusia, mulai
dari panca indra, otot, pencernaan, pernafasan, syaraf, X-ray, DNA, dll. Ada bagian
yang namanya Love and Sorrow, yang mendisplay sejarah Australia di zaman perang
dunia. Lalu kami juga melihat-lihat barang-barang kuno yang digunakan oleh
orang-orang Australia di masa lampau. Dekat escalator menuju ke bawah dipajang
juga beberapa kincir angin.
Sebelum pulang kami masuk ke area
Wominjeka, yang rupanya memajang barang-barang dari suku Aborgin. Di sini juga
kita melihat foto-foto sejarah bangsa Aborigin hingga kisah-kisah bangsa
Aborogin di masa kini.
Jam 16.30 kami meninggalkan
Melbourne Museum, kembali naik trem turun di perempatan Bourke St dan Swanston
St. Kami berjalan kaki ke Hosier Lane, sebuah jalan kecil yang dinding-dinding
bangunan di kiri kanannya dipenuhi dengan graffiti yang legal. Setelah
berfoto-foto, kami memutuskan untuk makan dulu sebelum pulang. Kami berjalan
kaki ke Warung masakan Padang Salero Kito.
Pemiliknya orang Indonesia dan
para pelayannya juga orang Indonesia. Terletak di dalam pertokoan antara Little
Collin st, Swanston St, dan Bourke St. Putri Bu Etty setiap hari Minggu bekerja
di sini untuk menambah uang saku. Masakannya cukup enak, namun porsinya juga
besar. Satu porsi rendang terdiri dari tiga potong daging. Ada dendeng daging
dan paru yang krispi. Harganya juga sangat terjangkau. Kami membayar AUD 11 perorang.
Di sini juga disediakan botol air putih dan gelas yang gratis. Kami juga
membungkus lauk pauk untuk sarapan besok dan bekal makan siang di sekolah yang
akan kami kunjungi.
No comments:
Post a Comment