Saturday, August 27, 2016

Jalan-jalan ke Melbourne, Australia: Day 3



Hari ke 3 Jalan-jalan di Melbourne

 
Hari ke tiga kami mengunjungi Ceres Community Environment Park. Dulunya lokasi ini adalah tanah kosong yang tidak terurus. Akhirnya sekumpulan orang yang peduli dengan lingkungan perlahan-lahan merubah lahan tersebut menjadi taman yang saat ini menjadi pusat pendidikan lingkungan di Melbourne. Taman ini berlokasi di Burnswick East. Dari Kavanagh st, kami berjalan kaki ke St Kilda street, lalu naik trem nomor 1 sampai di perempatan Swanston St dan Bourke St, lalu kami ganti trem ke nomor 96 menuju East Burnswick. Kami berhenti paling ujung/akhir rute trem, stop no 27. Lalu kami berjalan kaki sedikit menuju Ceres Community Environment Park. 
 

Kami masuk ke visitor center dan menyampaikan ke resepsionis bahwa saya sudah melakukan reservasi untuk tour guide. Sebelum berangkat ke Australia saya sudah melakukan reservasi melalui website-nya. Kami dikenakan biaya AUD 165 untuk dua jam tour. Kami pilih general tour, yang mana  kami akan mendapat penjelasan tentang solusi ketahanan air dan energy serta reproduksi tanaman serta tentang bangunan di Ceres. Setelah membayar, datangnya tour guide kami, seorang pria yang tinggi besar, di dada kanannya disematkan namanya, Sean. Setelah berkenalan, Sean langsung mengajak kami untuk memulai tur. Pertama ia mengajak kami melihat mobil listrik yang sedang di cas, dan lokasi tempat konservasi air. Air hujan yang jatuh ke aspal dialirkan ke kolam yang disaring dengan pasir dan dialirkan ke tangki penyimpanan yang nanti akan digunakan untuk menyiram toilet. 


Kemudian Sean mengajak kami ke area taman energy, di sana terdapat beberapa panel surya, pondok tempat produksi  biogas, kincir angin dan kincir air. Lalu mengajak kami memasuki sebuah rumah yang sangat ramah lingkungan. Interior rumah terbuat dari kayu daur ulang. Bagian dalam rumah didesain cukup cahaya dengan meninggikan dinding rumah dan memberi kaca di dinding sebelum plafon sehingga tidak perlu   lampu di siang hari. Di dalam rumah semua menggunakan lampu LED. Kami dijelaskan tentang perpedaan energy yang dikonsumsi bila menggunakan lampu pijar, lampu neon dan lampu LED. Juga ditunjukkan energy yang dihabiskan bila kita tidak mencabut charger HP atau membiarkan TV tetap stand by  dengan sebuah alat ukur.  Shane juga memberikan tips agar hemat energy yaitu dengan menggunakan colokan yang ada sakelarnya bila kita enggan mencabut colokan listrik. Dia juga menjelaskan  bahwa kita bisa merancang agar di rumah kita ada satu sakelar yang dapat dipasang di dekat pintu keluar dan dapat kita matikan bila keluar rumah, yang tidak mati hanya kulkas saja. Sehingga bila kita keluar rumah tidak ada energy yang terbuang sia-sia. 
 
Lalu kami dibawa ke bike shed, yaitu gudang tempat sepeda-sepeda bekas yang rusak  dibongkar, lalu diambil spare part-nya  yang bagus, lalu dirangkai lagi menjadi sepeda bisa digunakan. Menurut Shane hal ini bagus untuk edukasi bagi anak-anak, sehingga mereka paham apa ayang membangun sebuah sepeda dan bahkan sepeda rusakpun dapat bermanfaat (reuse).







Selanjutnya kami melihat-lihat Indonesian Village, berupa sebuah pondok yang didekorasi dengan barang kerajinan dari Indonesia. Bahkan ada becaknya. Indonesian village ini dikembangkan oleh kenalan kami Ibu Ningsih yang dulu pernah bekerja di Ceres. Lalu ada juga African village. Lalu kami masuk ke nursery ( tempat pembibitan tanaman), melihat-lihat kebun, kandang ayam dan ke organic market yang merupakan akhir dari tour kami. Lalu Sean memperkenalkan kami dengan Ben yang merupakan staff global, bila kami ingin bekerja sama dengan Ceres. Setelah berfoto bersama dan saling  mengucapkan selamat berpisah, kami menuju Merry Café untuk makan siang. Saya memesan Pho, masakan Vietnam yang mirip kwetiaw kuah yang diberi sayuran toge dan kemangi. Tapi karena tidak ada rasa pedasnya saya tidak begitu berselera. 



 

Setelah makan, kami kembali naik trem. Di tengah jalan kami melihat toko mainan dan turun untuk melihat-lihat. Nanti tidak ada mainan yang cocok untuk dimainkan oleh anak-anak di sekolah. Kami kembali naik trem. Lalu turun di depan Melbourne Museum. Melbourne Museum yang arsitekturnya bergaya modern bersebelahan dengan Royal Exhibition Building yang bergaya Victoria. 





Di pintu masuk Melbourne Museum banyak sekali anak-anak sekolah yang sedang excursion. Kami membeli tiket seharga AUD 14 perorang lalu masuk ke dalam museum. Di ruang utama di depan pintu masuk kami disuguhi koleksi yang luar biasa dan sangat menarik yaitu rangka dinosaurus.  Kami melihat anak-anak sangat antusias melihat rangka-rangka tersebut. Saya kagum melihat beberapa anak bule yang antri dengan tertib untuk menggunakan semacam teropong walaupun tidak ada orang dewasa di sekitar mereka yang menyuruh mereka antri bergantian menggunakan teropong tersebut. Di sini yang langsung melihat efek pendidikan karakter di Australia yang sudah berjalan dengan baik. 






Museum ini sangat lengkap, menarik, modern dan edukatif. Banyak keluarga-keluarga Australia yang membawa anak-anak balitanya bermain ke museum ini. “Pantas saja Australia maju, warganya pinter-pinter, masih kecil-kecil mainnya sudah ke tempat-tempat yang edukatif”, pikir saya. Ada koleksi binatang-binatang yang diawetkan, yang sudah mulai dikumpulkan sejak tahun 1800-an, ada juga koleksi hewan laut. Lalu ada bagian human body yang memajang dengan detil semua bagian tubuh manusia, mulai dari panca indra, otot, pencernaan, pernafasan, syaraf, X-ray, DNA, dll. Ada bagian yang namanya Love and Sorrow, yang mendisplay sejarah Australia di zaman perang dunia. Lalu kami juga melihat-lihat barang-barang kuno yang digunakan oleh orang-orang Australia di masa lampau. Dekat escalator menuju ke bawah dipajang juga beberapa kincir angin. 

Sebelum pulang kami masuk ke area Wominjeka, yang rupanya memajang barang-barang dari suku Aborgin. Di sini juga kita melihat foto-foto sejarah bangsa Aborigin hingga kisah-kisah bangsa Aborogin di masa kini. 
 
 

Jam 16.30 kami meninggalkan Melbourne Museum, kembali naik trem turun di perempatan Bourke St dan Swanston St. Kami berjalan kaki ke Hosier Lane, sebuah jalan kecil yang dinding-dinding bangunan di kiri kanannya dipenuhi dengan graffiti yang legal. Setelah berfoto-foto, kami memutuskan untuk makan dulu sebelum pulang. Kami berjalan kaki ke Warung masakan Padang Salero Kito.   Pemiliknya orang Indonesia dan para pelayannya juga orang Indonesia. Terletak di dalam pertokoan antara Little Collin st, Swanston St, dan Bourke St. Putri Bu Etty setiap hari Minggu bekerja di sini untuk menambah uang saku. Masakannya cukup enak, namun porsinya juga besar. Satu porsi rendang terdiri dari tiga potong daging. Ada dendeng daging dan paru yang krispi. Harganya juga sangat terjangkau. Kami membayar AUD 11 perorang. Di sini juga disediakan botol air putih dan gelas yang gratis. Kami juga membungkus lauk pauk untuk sarapan besok dan bekal makan siang di sekolah yang akan kami kunjungi. 








No comments:

Post a Comment